Damai dengan Etika Jurnalisme dan Investigative Reporting

23 Min Read
Penulis,paling kanan bersama para wartawan yang mengikuti Indo Journalist Programe di Institute for Training and Development (ITD) Amherst, Massachussets, AS, tahun 2002.

Oleh: Nur Iskandar *

Saat itu Kalbar dilanda konflik berdarah-darah. Ada kerusuhan di wilayah pantai utara.

Peristiwa kriminal murni di malam Idul Fitri tahun 1999 berupa pencurian dan pembunuhan telah pecah sebagai “perang etnis”. Ratusan, atau bahkan ribuan nyawa melayang. Puluhan ribu rumah dan kendaraan ludes terbakar.

Situasi Kalbar pun mencekam. Ratusan ribu orang mengalir bagaikan air bah. Mereka mengungsi dari Kabupaten Sambas ke Kota Pontianak. Arang dan debu menjadi saksi sejarah kelam ini.

Fasilitas umum, terutama Gedung Olahraga (GOR) Pangsuma, Stadion Sultan Syarif Abdurrahman, Asrama Haji, hingga Stadion Universitas Tanjungpura dipenuhi massa pengungsi. Semula mereka menempati bangunan utama, namun lambat laun berdiri rumah-rumah gubuk di sekitarnya. Konflik etnik satu masalah, pengungsian menjadi masalah lain di Kota Pontianak. Angka kriminalitas di Kota Pontianak cenderung meningkat. Korban kerusuhan mendapatkan stigma yang negatif.

Dalam kacamata pers, konflik dan kekerasan adalah objek liputan yang amat sangat menarik perhatian. Kenapa? Karena menyangkut manusia. Menyangkut rasa ingin tahu. Menyangkut emosi.

Konflik apalagi ini tragedi kemanusiaan menyangkut keringat, darah dan air mata. Pembaca juga diburu rasa ingin tahu. Ingin tahu akar masalahnya, sebab-musababnya, siapa saja korbannya, bagaimana penanganannya, bagaimana dampaknya, dan seterusnya. Karena semua itu menyangkut manusia. Menyangkut diri dan lingkungannya. Maka antara satu media dengan media lainnya berlomba-lomba menyajikan berita mengenai konflik tersebut di atas. Begitupula dengan pembaca, setiap pagi berlomba-lomba membaca perkembangan berita terkini.

Di dalam ilmu jurnalistik, yang namanya berita bukan hanya berisi konflik dan menarik. Berita adalah sebuah rekonstruksi peristiwa yang faktual, menarik, dan penting bagi khalayak. Berita adalah informasi yang aktual, faktual dan objektif. Ia disajikan dengan berimbang dan memenuhi standar kode etik, sehingga mendidik. Tak soal apakah dia disajikan dalam bentuk berita langsung (stright news), ataupun berita kisah (feature).

Fakta dalam berita adalah suci. Fakta tersebut tidak boleh bercampur dengan opini atau pendapat. Jika ada narasumber yang berpendapat di dalam sebuah peristiwa, maka narasumber itu haruslah yang berkompeten seperti saksi mata, petugas atau aparat yang berwenang, maupun pakar alias ahli di bidangnya. Reporter maupun redaktur tidak boleh beropini di dalam berita. Jika pun mereka punya opini pribadi hendaklah disalurkan ke dalam artikel tersendiri dan dimuat di rubrik opini. Adapun jika media bersangkutan yang hendak beropini, hendaklah disalurkan dalam bentuk tajuk rencana. Jadi, berita tetap berita. Fakta tetap suci dari opini. Dengan demikian penyampaian berita kepada publik bersifat mendidik dan mencerdaskan. Masyarakat yang cerdas di sini akan dapat menjadikan informasi atau berita sebagai bahan pengambilan keputusannya secara cerdas dalam menjalani kehidupan. Masyarakat yang cerdas dan dapat mengambil keputusan secara cerdas akan mampu mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan.

Penyajian berita pun mesti menjalani proses yang matang. Mulai dari liputan lapangan oleh reporter yang andal, di mana dia mengerti bagaimana cara meliput yang baik dan konfrehensif. Bahan yang diperoleh reporter kemudian disunting oleh redaktur dengan mengedepankan aspek verifikatif, sehingga tidak ada berita yang turun sifatnya agitatif, melainkan berimbang. Diliput dari berbagai sisi yang balance. Istilahnya cover bothside.

Masalahnya adalah, tidak semua reporter tergolong andal ketika terjun ke wilayah konflik. Mereka kerap kali meliput tanpa azas keberimbangan. Dengan demikian berita liputannya sangat parsial. Berita seperti ini bisa menjadi bensin. Ia menjadi sangat rawan. Bisa membakar konflik menjadi lebih besar.

Begitupula ketika berita sampai ke meja redaktur. Tidak semua redaktur profesional menyunting berita. Tak jarang ketika disunting, berita menjadi lebih seram daripada kondisi objektif lapangan. Kenapa? Karena telah dibumbui dengan maksud meningkatkan oplah atau rating. Jika tidak demikian, pribadi dan subjektivitas redaktur telah terlibat di dalam berita, sehingga “digoreng” dengan sudut pandang yang bersangkutan.

Masalah seperti tersebut di atas tidak hanya terjadi di Kalbar, namun juga terpapar di wilayah konflik lain di Tanah Air. Sebut misalnya Jakarta, Aceh, Makassar, Jawa Tengah hingga Ambon. Untuk itulah maka Institute for Training and Development (ITD) yang bermarkas di Amherst, Massachussets, Amerika Serikat menyelenggarakan Indo Journalist Programe.

Proses Seleksi

ITD di AS bekerjasama dengan INSIST yang berpusat di Yogyakarta mengadakan seleksi bagi para wartawan di wilayah konflik. Undangan dikirim via faksimil di kantor-kantor redaksi. Mereka merekrut reporter lapangan atau redaktur yang berpengalaman untuk meliput konflik dengan tema journalism in ethics and investigative reporting. Pada undangan tersebut terdapat pula formulir isian berupa syarat pendaftaran.

Saya bekerja di Harian Equator yang beralamat di Jalan Nusa Indah, Kota Pontianak. Ini koran kriminalitas dan politik di bawah payung Jawa Pos. Saya sebagai reporter yang kerap meliput konflik turut mendaftar dengan mengisi formulir serta berbagai kelengkapan.

Dalam isian formulir itu yang paling menarik adalah lampiran berita yang pernah ditulis oleh reporter. Saya memberikan masing-masing laporan utama yang menurut saya adalah hasil liputan terbaik dan terburuk. Di bawah kedua naskah tersebut saya sebutkan alasan kenapa sebuah naskah berita bisa kualifikasinya A dan D. Walaupun sama-sama menduduki peringkat berita utama atau headline.

Mungkin dari kedua naskah headline itu saya dinilai punya potensi sehingga diundang seleksi wawancara. Wawancara ini dilakukan oleh dua orang tim juri, masing-masing Elias Tana Moning dan Prof Dr Dan Moulton. Wawancara dilakukan dengan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.

Pada saat wawancara, saya diverifikasi perihal data pribadi dan karir di industri pers. Kepada saya juga ditanyakan tentang pengalaman meliput konflik.

Soal pengalaman meliput konflik, ini yang paling seru. Saya menceritakan bahwa dalam rangka meliput secara berimbang, saya sampai disandera oleh salah satu kelompok yang sedang bertikai. Resikonya, nyawa nyaris melayang karena sudah dikawal oleh pria kekar dengan menenteng senjata tajam maupun senjata api rakitan. Saya disandera di lokasi kamp pengungsian GOR Pangsuma, Pontianak pada saat pengungsi diultimatum pemerintah untuk mengosongkan kamp-kamp pengungsian menyusul pembakaran barak pengungsi di GOR Bulutangkis, Khatulistiwa tak jauh dengan GOR Pangsuma dan Stadion Sultan Syarif Abdurrahman.

Pembakaran barak pengungsi di GOR Khatulistiwa terkait dengan kasus kriminalitas di kawasan GOR dan Stadion. Seorang anak bernama Ferry, usia enam tahun, tewas dengan tangan patah serta kepala retak. Hal itu menyusul upaya perampokan kepada orang tua Ferry yang pulang kerja dari berdagang lapak makanan dan minuman ringan di Stadion Sultan Syarif Abdurrahman. Kematian Ferry ini telah menyulut kemarahan warga Purnama yang wilayahnya berseberangan dengan GOR. Stigma negatif terhadap pengungsi yang telah terstempel sejak pecah kerusuhan di Sambas mudah sekali tersulut. Masyarakat bisa bergerak “main hakim” sendiri, walaupun pada kenyataannya, pelaku perampokan itu memang adalah anak-anak remaja tanggung yang tumbuh dari kamp pengungsian. Saya meliput semua peristiwa tersebut.

Saya disandera karena sejumlah warga pengungsi telah panik. Adapun saya berusaha meliput hal-hal yang terjadi di luar kamp pengungsian dan apa yang terjadi di dalam kamp pengungsian. Saya ingin menyajikan data dan fakta yang lengkap kepada pembaca sehingga tidak selalu memasang stempel negatif kepada kamp pengungsian. Mungkin betul ada di antara mereka yang jahat, namun tidak sedikit orang-orang baik.

Saya disadera pada pagi hari dan baru dilepas menjelang zuhur. Rasa takut pada waktu itu sudah berada di titik nadir. Syukur Tuhan masih membukakan pintu keselamatan, walaupun dalam benak pikir saya terbetik kata: ini adalah resiko profetik!
Berangkat dari situasi konflik di Kalbar dan tujuan pelaksanaan Indo Journalist Programe, saya dinyatakan lulus dan berhak mengikuti pendidikan journalism in ethics and investigative reporting. Saya bergabung bersama rekan-rekan seprofesi asal Aceh dan Ambon.
Ada 13 orang jurnalis Indonesia yang “terbang” dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Singapore. Dari Singapore transit di Jepang. Kemudian dari Jepang mendarat di New York. Pada saat perjalanan panjang nyaris 24 jam itulah saya melihat betapa majunya negara-negara luar seperti Singapore, Jepang dan AS.

Belajar di ITD

ITD berada di Amherst, sebuah kecamatan yang teduh, sejuk dan indah di negara bagian keren bernama Massachussets. Panorama pedesaan masih sangat kentara di Amherst, walaupun kemoderenan teraktualisasi di kampus UMAS (University of Massachussets) maupun pusat perbelanjaan. Kami mendapatkan tempat menetap di apartemen dengan fasilitas luks laksana rumah pribadi, di mana di dalamnya ada makanan dan perabot lengkap. Pulang-pergi, tersedia jemputan. Di apartemen inilah saya pertama kali mengenal alat cuci piring elektrik! Di tempat saya, Pontianak belum pernah ada alat cuci pecah-belah seperti ini. Mewah dan memang wah…

Di apartemen kami juga disediakan komputer yang terkoneksi dengan internet. Melalui perangkat ini, saya sangat dimudahkan untuk mengirim berita ke dapur redaksi Harian Equator. Dan berada di negara yang bertaut 12 jam dengan Indonesia (jika di sini malam, maka di Indonesia siang, atau sebaliknya) saya merasakan tidak ada jarak antara AS dan Indonesia, atau tidak ada jarak antara Amherst dan Pontianak. Di sini, dengan adanya internet, jarak dan waktu menjadi nisbi atau relatif. Komunikasi dengan para wartawan di dapur redaksi bisa chatting atau bersurel.

ITD adalah sebuah NGO di AS. Mereka mendapatkan dana dari Departemen Luar Negeri. Dari dana tersebut mereka melatih berbagai elemen dari negara berkembang. Tidak hanya di bidang pers dan demokrasi, juga di bidang kesehatan. Sejumlah dokter dan birokrat Kalbar pernah mengenyam pendidikan di ITD. Ada nama Direktur RSUD dr Soedarso, dr H Buchary A Rachman dan Asisten III Setda Kalbar, Drs Tabrani Hadi.

ITD dipimpin Prof Dr Dan Moulton. Pria yang mewawancarai kami secara langsung di Hotel Kapuas Palace ketika seleksi awal dilakukan di Kalbar. Pria ini suka mengenakan batik. Bahasa Indonesianya sangat bagus. Pada saat membuka pelatihan di ITD, Prof Dan Moulton mengatakan lembaganya hendak berkontribusi bagi keamanan Indonesia melalui manfaat kinerja jurnalistik yang profesional. Khususnya penerapan jurnalisme damai dengan teknik investigasi serta etik dalam jurnalistik. Angkatan kami 13 orang jurnalis dari Aceh, Ambon dan Kalbar merupakan angkatan kedua IJP. Angkatan pertama diselenggarakan pada tahun sebelumnya dan diikuti wartawan wilayah konflik Sulawesi Selatan, Jakarta dan Jawa.

Kantor ITD mirip sebuah rumah besar. Paling besar ruangan diperuntukkan bagi kelas belajar. Di dalam kelas ini terdapat bendera berbagai bangsa yang menunjukkan bahwa negara-negara tersebut pernah mengirim individu lintas profetik untuk mengenyam pendidikan di ITD. Saya bangga berada di kelas ini. Bangga dengan merah-putih yang juga terpasang benderanya di ruangan istimewa, tempat berhimpun orang-orang pilihan di berbagai belahan dunia.

Ruangan lain kecil-kecil. Ruangan tersebut diperuntukkan bagi petugas kantor. Petugas kantor ITD tak sampai 10 orang.

Melihat bendera yang terpasang melebihi 30-an negara, saya berdecak kagum. Bagaimana bisa sebuah NGO ITD dengan hanya dikelola kurang dari 10 orang mampu penetrasi sampai puluhan negara? Ini menunjukkan organisasi ITD miskin struktur, tapi kaya fungsi! Berbeda di negara kita, pada umumnya organisasi itu gemuk, namun penetrasinya lemah! Pada sisi lain dukungan negara melalui Deplu AS keras mengucur. Sebab biaya mendidik 13 jurnalis dari Indonesia dengan akomodasi seluruhnya ditanggung, butuh dana miliaran rupiah. Kebijakan seperti ini amat sangat minim di pemerintah lokal, termasuk nasional Indonesia. Untuk itu kebijakan AS patut ditiru, apalagi kebijakan luar negeri Indonesia adalah bebas dan aktif. Pada sisi lain tujuan kemerdekaan Indonesia adalah hendak mewujudkan ketertiban dunia dan perdamaian abadi…

Belajar di ITD sejak pukul 08.00 pagi hingga pukul 16.00 sore. Teori dan praktik. Untuk teori, kami 13 orang jurnalis mendapatkan narasumber yang didatangkan ke kelas. Sedangkan untuk praktik, kami kunjungan dan berdialog di media, baik radio, koran, maupun televisi. Adapun di hari Sabtu-Minggu, kami mendapatkan waktu bebas yang bisa diisi dengan kegiatan kebudayaan.

Narasumber yang mengajar investigative reporting adalah Roberta Baskin. Dia wartawati yang mendapatkan Nieman Fellowships di Harvard University. Liputan-liputan lapangannya menjadi tolak ukur penerapan teknik investigative di dalam jurnalistik.

Ada juga seorang wartawan tempat kami belajar investigative. Namanya Larry Tie. Dia adalah wartawan di Boston Globe peraih penghargaan bergengsi jurnalistik di Amerika Serikat: Pulitzer Prize.

Kalau Roberta Baskin melakukan investigative reporting dengan cara menyamar sebagai pekerja di pabrik sepatu dalam rangka membongkar upah tenaga kerja, maka Larry Tie lebih jauh daripada itu. Untuk menguak misteri “tebang pilih” pelayanan kesehatan berupa penyakit di sendi lutut, dia bersedia mengikuti operasi bedah di rumah sakit. Dengan demikian dia tidak hanya meliput, tapi juga merasakan. Teknik investigasi itu terjadi sejak awal proses pendaftaran/administrasi di rumah sakit, masa operasi, hingga perawatan penyembuhan pasca operasi! Sebegitu giat dan getolnya seorang jurnalis mengungkapkan kebenaran sehingga rela membuang banyak waktu dan biaya demi menguak kebenaran! Di sini point pentingnya. Jadi, berita yang faktual dan aktual itu tidak hanya rekonstruksi peristiwa picisan, tetapi mengungkapkan kebenaran dengan keterlibatan, berupa mengalami dan merasakan. Dari investigasi model ini, Larry Tie banyak membantu kalangan bawah yang miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan utama. Khususnya untuk penyembuhan penyakit di persendian lutut.

Secara teori, jurnalisme investigasi kami juga diasuh oleh Prof Dr Bill Katter. Beliau adalah dekan fakultas komunikasi di Boston University. Kepada kami diajarkan teori jurnalisme investigasi dan sekaligus diajak berdialog dengan akademisi cum jurnalis yang berkhidmat di Boston University.

Satu lagi pengasuh kami di bidang investigasi, namun lebih spesifik di bidang etika dalam jurnalistik yakni Prof Dr Ralph Barney. Beliau adalah President Mass Media Ethics di AS. Dia juga adalah guru besar jurnalistik di Brigam Young, Negara Bagian Utah.

Dari Ralph Barney kami mendapatkan empat prinsip dalam menuangkan hasil investigasi: Pertama, cari kebenaran dan laporkan (seek the truth and report it). Kedua, hindari kesalahan atau ketidakbergunaan (minimize harm). Ketiga, harus dapat diukur (be accountable). Dan prinsip keempat adalah bertindaklah merdeka atau independen (act independently). Keempat prinsip tersebut diuraikan Ralph Barney lebih spesifik di dalam buku tulisannya berjudul Jounalism in Ethics.

Belajar Budaya

Hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur bagi kami. Dua hari ini adalah keistimewaan. Kami bisa belajar kebudayaan lebih intensif.

Kami berkunjung ke beberapa negara bagian. Di Connecticut misalnya, kami ke museum ilmu pengetahuan (Museum of Science). Di sini diterapkan betul prinsip pengetahuan. Misalnya pilihan jalan, bahkan tangga naik yang menimbulkan irama laksana organ atau piano. Jauh hari sebelum marak pemberitaan di televisi, kami sudah merasakan sensasi tangga musik ini. Di museum pengetahuan pula setiap pengunjung dengan amat sangat mudah mempelajari hukum fisika, matematika dan kimia. Kenapa? Sebab ada cerita yang hidup tergambar dan terfilmkan. Setiap pelajar menjadi mudah mencerna maksud sebuah rumus dan kegunaannya. Di museum ini saya berdecak kagum, seraya berkomentar, pantaslah anak-anak AS pintar-pintar, sebab kepada mereka disediakan sarana belajar yang aktual. Dunia literasi mereka maju sekali. Ruang baca tidak hanya teks buku, namun juga vidio dan artefak seisi museum.

Kami juga berkunjung ke sebuah kampung nelayan yang diawetkan sebagai museum organik. Ibarat Kampung Beting yang dijadikan cagar budaya. Ia tidak hanya terdiri dari pelabuhan, kapal, dan bangunan, namun juga kehidupan masyarakat di sekitarnya menjadi bagian organik dari museum ini. Sampai sekarang museum seperti itu belum ada di Kalimantan Barat. Kalaupun ada, saya baru merasakan di Sarawak Cultural Village, Sentubong, 30 km dari Kota Kuching, Malaysia Timur, jiran Kalbar. Di Sarawak Cultural Village setiap rumah etnik dihidupi oleh warga suku yang bersangkutan. Di sana tampak tradisi dan budaya yang mereka gunakan sehari-hari. Mulai dari bahasa, pakaian, musik, tari, hingga kue-kue tradisional.

Museum adalah rumahnya pengetahuan. Semua artefak mempunyai kekayaan informasi. Rasanya, tak pernah cukup waktu di Sabtu-Minggu untuk mengunjungi museum itu satu per satu. Banyak sekali rupa-rupa museum dengan keunggulannya.

Kegiatan budaya yang paling kental adalah Thanks Giving. Jatuh pada Kamis, minggu keempat November. Kami merayakan hari syukur atas panen pertanian ini di sebuah rumah warga pedesaan. Di rumah itu kami menikmati ayam kalkun yang mana pada bagian isi perut telah ditakar dengan bumbu teriyaki. Rasanya nikmat sekali. Apalagi pada perayaan Thanks Giving itu juga berdatangan para tetangga di mana kami saling kenal dan bercengkerama. Kami juga menyanyikan lagu-lagu pop yang evergreen. Dan tentu lagu yang paling mengena di hati adalah Massachussets!

Pada saat berdendang lagu Bee Gees tersebut dalam hati berpikir, kenapa seniman Kalbar tidak membuat lagu Pontianak ya? Jika bisa sehebat Bee Gees? Ngepop dan ngetop! Bisa jadi sweet memories dan abadi didendangkan bagi setiap tamu domestik maupun mancanegara yang ke Bumi Khatulistiwa…

Dalam hal kebudayaan kami juga berkunjung ke Kantor Polisi. Kantor polisi di sini sangat aktif. Mereka mengirim faksimil ke kantor media setiap ada peristiwa penting. Dari komunikasi via faksimil itu wartawan dapat menindaklanjutinya sebagai bahan awal pemberitaan. Di sini saya merasakan beda dengan di Indonesia. Di Indonesia, kita dengan susah payah mendapatkan bahan dasar berita dari kepolisian.

Polisi di AS juga tekun menjaga warganya. Ada kisah polisi menegur orang tua yang membiarkan anak balitanya bermain seorang diri di pekarangan rumah. Hal semacam ini tidak saya temukan di Indonesia. Bahkan anak-anak bebas bermain tanpa kontrol orang tuanya, bukan hanya di pekarangan, tapi sampai ujung desa…Sebagai wartawan saya maklum jika ada warga AS yang hilang atau mengalami kecelakaan, maka negaranya cepat bereaksi. Berbeda dengan Indonesia, TKI-TKW mendapatkan perlakuan biadab, tenang-tenang saja. Untuk itu peningkatan kewaspadan akan isu terorisme di AS pasca peristiwa World Trade Centre (WTC) ditabrak dua pesawat pada 11 September 2001 dapat dimaklumi. Pemerintah AS bertanggungjawab penuh melindungi rakyatnya.

Dalam hal kebudayaan kami juga belajar perihal toleransi. Terutama untuk shalat dan puasa. Pernah kami shalat Jumat di kampus UMAS. Juga tarawih dan buka puasa bersama. Warga kampus baik muslim dan non muslim ikut menikmati juadah buka bersama. Tidak ada tekanan dan larangan menjalankan ajaran Islam. Masjid-masjid juga bertumbuh di AS. Islamic centre sangat diminati. Juga banyak yang memeluk Islam. Populasi muslim di AS tumbuh di atas 2 persen. Beberapa gubernur negara bagian tercatat sebagai seorang muslim.

Dalam hal menjalankan shalat, saya merasakan sendiri ketika tiba di John F Kennedy International Airport. Saya pilih sudut yang agak sepi. Saya tayamum dan shalat jamak qashar. Alhamdulillah tidak ada teguran dan pandangan aneh kepada saya yang mungkin bagi kalangan warga AS di bandara melakukan gerakan aneh. Saya bebas menjalankan ibadah shalat. Padahal saat itu, tahun 2002 baru saja setahun kejadian WTC. Isu terorisme sangat kental di AS. Keamanan ditingkatkan berkali lipat. Banyak berita pada saat itu bahwa muslim di AS tertekan, namun kami tidak mendapati adanya tekanan dalam menjalankan ibadah selama berada di AS.

Penutup

Banyak pengalaman berkesan selama mendapatkan kesempatan belajar di ITD. Pengalaman itu membuka cakrawala tentang hubungan internasional dan perlunya saling mengerti adat dan budaya pihak lain. Begitu juga sebaliknya.

Sekembali di dapur redaksi, saya menumbuhkembangkan pengetahuan yang diperoleh di AS. Wartawan maupun insan pers kampus dimotivasi untuk mengikuti kegiatan-kegiatan internasional. Beberapa orang kemudian menyusul pendidikan ke Paman Sam. Sementara karya jurnalistik investigasi juga bertumbuh. Beberapa kasus lokal seperti pergaulan bebas, korupsi dan perdagangan narkoba berhasil dibongkar. Begitupula dengan konflik berlatar etnis, melalui pendekatan liputan konfrehensif, isu-isu tersibak gamblang. Pembaca menjadi cerdas dan tidak mudah dihasut. Kamp-kamp pengungsian terberitakan keluh-kesahnya sehingga terjadi akselerasi sosiologis. Puluhan ribu kepala keluarga di kamp pada gilirannya dapat direlokasi sesuai program pemerintah. Kota Pontianak pun menjadi bersih dan aman. Fasilitas olahraga dapat difungsikan kembali untuk fasilitas umum berolahraga maupun berkompetisi.

Investigasi dan etika jurnalistik juga kami praktikkan dalam kaidah jurnalisme damai. Dengan kebijaksanaan redaksi yang pro jurnalisme damai, diaminkan oleh organisasi profesi seperti PWI dan AJI, maupun komunitas pegiat perdamaian. Alhamdulillah konflik di Kalbar semakin sembuh dengan liputan yang berimbang, di mana isu-isu konflik etnis bisa ditepis dengan keterbukaan. Tentu saja dengan menerapkan resep: seek the truth and report it. Minimize harm. Be accountable dan act independently. Konflik bernuansa etnis hingga menimbulkan pembersihan etnik tidak pernah terjadi lagi di Kalbar. * (Penulis adalah wartawan peserta shortcourse IJP di ITD-AS, tahun 2002)


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
Share This Article
Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.