Deforestasi dan Riba

6 Min Read

Oleh: Muhammad Khairul Anwari, M.Sc.Fin

Tulisan saya pada Bulan Ramadhan 1438 H ini tidaklah serta merta berkait erat dengan bulan suci ini, tetapi lebih pada ajakan kepada umat Islam untuk memikirkan juga tentang Deforestasi dan Bunga (riba) yang terjadi di Indonesia, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua untuk meraih Islam yang Rahmatan LilAlamiin.
Meskipun saat ini cuaca cerah-secerahnya tidak seperti beberapa bulan lalu ketika cahaya matahari tidak mampu menembus permukaan bumi dibeberapa bagian Indonesia dikarenakan kabut asap, tapi tetap saja meninggalkan jutaan hektar hutan punah akibat pembalakan dan pembakaran liar. Saya tidak berbicara tentang efek kesehatan dari kebakaran hutan, spot asap didominasi bersumber di kawasan perkebunan kelapa sawit, industri perkayuan ulah korporasi, atau bagaimana malunya kita kepada negara tetangga akibat asap hampir setiap tahunnya sehingga kita dicap setengah hati dalam menangani kasus kebakaran hutan.
Apa hubungannya jika melihat tema di atas? jika melihat lebih jauh bahwa hutang dan isu lingkungan sangat berkaitan satu sama lain. Hyphotesanya ialah semakin banyak hutang dari negara-negara berkembang, maka ketika pembayaran dalam bentuk uang cash tidak mencukupi, sumber-sumber daya alam yang dimiliki pada akhirnya tergadaikan. Setali tiga uang WWF ketika mengkampanyekan isu kemiskinan mengakui bahwa ada hubungan antara kemiskinan dan masalah lingkungan.
Vandana Shiva dalam bukunya Stolen Harvest (2000) bahwa mereka yang sering bermanfaat bagi lingkungan telah dipaksa ke dalam kemiskinan karena politik dan ekonomi. Hal ini diperparah dengan beban hutang yang berlebihan menjadikan lebih sulit untuk mempertahankan lingkungan.
Fakta lain yang diungkapkan oleh (rainforests.mongabay.com) bahwa dalam kurun waktu 20 tahun dari 1980 ke 2000, hutang menjadi faktor pemicu pengundulan hutan pada beberapa negara-negara tropis berkembang, terlebih negara yang terkategorikan sebagai negara miskin dengan hutang besar. Cara singkat dan mudah ini menjadi pilihan dengan mengorbankan sumber daya alam untuk membayar hutang dan bunga (riba). Pola akhirnya akan lebih gila dengan tingkat bunga (riba) yang tinggi disaat perekonomian pada titik resesi global dimana akan menyulitkan bagi negara-negara berkembang untuk membayar hutang.
Hutang sebenarnya sah-sah saja. Tapi di dalam dunia ini dan apalagi era sekarang, rasanya agak sulit kata selaras dengan hati bahwa selalu ada kebaikan tanpa ada kemanfaatan yang diterima. Time value of money adalah salah satu pembenarannya, maka sebagai ganti uang yang dipinjam yang sebenarnya si pemberi pinjaman bisa memproduktifkan uangnya, tapi terpakai oleh yang membutuhkan. Alhasil sebagian beranggapan tidaklah mengapa membebankan bunga (riba nama sebenarnya), toh sama-sama suka.
Jika peminjam diluar skenario tidak mampu mengembalikan pinjaman, apakah masih berlaku keadaan suka sama suka?. Maka keadaan inilah aset tetap (berwujud) menjadi taruhan. Bukankah ini sama saja dengan yang terjadi dengan kekayaan alam kita?
Selanjutnya, secara agregat hutang tidak bisa dibayar secara total (pokok plus bunga). Ini dikarenakan bunga (riba) yang dibayarkan bersamaan dengan pokok hutang tidak ada dalam format uang dalam sistem. Implikasinya adalah pembayaran bunga (riba) hanya bisa dibayar dalam bentuk sumber daya alam. Oleh karena itu dan sesungguhnya gagal bayar sudah di desain oleh sistem.
Ketika bicara sistem, bukankah Bernard Lietar dan Tarek el-Diwany dalam Theft of Nations mengatakan salah satu efek bunga (riba) adalah bunga berkonsentrasi kekayaan di tangan minoritas kecil dengan mengenakan pajak pada mayoritas.
Ilustrasi mudah ialah ketika uang sejumlah Rp 100 Juta dalam bentuk pinjaman dan diberikan dengan tingkat bunga (riba) misal 10%. Debitur berkewajiban mengembalikan Rp 110 Juta (Rp 100 juta plus Rp 10 Juta bunga) sampai masa tenor. Sebenarnya dalam bentuk uang hanya ada Rp 100 Juta, sementara bunga tidak riil dalam format uang dan tidak dibuat dalam sistem. Jadi sekali lagi gagal bayar bukanlah kebetulan tapi memang sedari awal sudah diciptakan, dan sedari lama sistem ini eksis bahkan beranak-pinak dalam tatanan keuangan global.
Dalam scientificamerican.com, dikatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke 1 dalam deforestasi hutan. Hasil studi menemukan bahwa hutan Indonesia yang hilang sangat massif melampaui tingkat kehilangan hutan di Brazil. Selama tahun 2000 dan 2012 Indonesia kehilangan kira-kira 15 juta hektar hutan, kemudian studi yang dikeluarkan dalam jurnal Nature Climate Change tahun 2014 mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat kehilangan hutan tertinggi dengan rata-rata 840 ribu hektar setiap tahun, dan asap kebakaran tahun 2015 mungkin pemecah rekor terlama dan terparah. Akankah 2016 bisa melampauinya, kita lihat saja.
Dalam banyak kasus, raksasa keuangan asing telah melakukan perubahan dalam pemerintahan. Terakhir, gagal bayar pada perusahaan akan mentransfer aset riil bankir sedangkan default bagi negara-negara selain mentransfer kekayaan sumber daya alam, juga kedaulatan jadi opsi, jadilah negara yang di perbudak. Kita berharap semoga tidak terjadi. (Penulis Dosen IAIN Pontianak)


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
Share This Article