teraju.id. Dabong— Kami berangkat dari rumah menuju tambak yang terletak di belakang kampung Dabong menggunakan motor air hampir pukul 11 malam. Saya ikut Pak Bar. Bersama kami dalam motor itu ada ibu mertua Bang Ichwani dan cucunya, serta seorang lagi lelaki yang belum saya kenali.
Motor air ditambat di dermaga kecil di dekat jembatan penyeberangan di tengah kampung Dabong. Di dalamnya saya melihat perbekalan makanan, bongkahan es dan beberapa peralatan lain.
Saya memilih motor air dengan pertimbangan agar mengenal sisi lain dari perjalanan ke lokasi tambak. Sedangkan yang lain, termasuk dua orang mahasiswa KKL yang ikut serta, menggunakan sepeda motor dari belakang kampung. Kata mereka, kalau pakai motor jaraknya kurang lebih 5 atau 10 menit saja. Jadi cukup dekat. Saya pikir tidak menarik perjalanan darat itu dibandingkan lewat air.
Motor air muatan 3 ton dengan mesin jenis kecil, dinyalakan. Pak Bar menimba air di dekat mesin dan kemudian memutar mesinnya. Seketika malam menjadi gaduh. Pap..pap..pap bunyi memecah kesunyian..
Bodi motor membelah sungai. Pak Bar hanya berbekal lampu senter cas (charge) yang cahayanya terbatas. Jika bukan karena pengalaman, mungkin motor air sudah menabrak tebing sungai atau pepohonan di kiri kanannya. Tetapi, Pak Bar, sudah tahu lekukan sungai. Dia sudah tahu di mana harus berbelok dan di mana motor harus berjalan lurus.
Di kiri kanan sungai, di kegelapan yang diterangi sinar lampu senter kecil, sesekali terlihat ikan melompat ke permukaan. Mereka terganggu. Sesekali juga ada motor air lain yang berlimpasan.
“Mereka pulang mencari udang,” kata Pak Bar menjelaskan.
Satu dua bagan terlihat. Bagan ini hanya beroperasi di siang hari.
20 menit perjalanan lampu-lampu terlihat di kejauhan, semakin dekat. Itulah lokasi tambak. Kami sampai di sebuah dermaga kecil. Dan disambut oleh seorang lelaki. Dia menangkap tali yang dilempar dari perahu.
“Hati-hati,” ingat lelaki itu ketika kami turun.
Dermaga itu sudah rapuh. Orang yang menjejakkan kaki di atasnya harus memilih bagian papan yang ada gelegarnya.
Di tambak rupanya ada pondok. Lampu yang terlihat tadi memancar dari sini. Lampu jenis LED, hemat listrik. Saya tidak mendengar bunyi generator. Nampaknya sumber listrik dari aki, dan saya memastikan hal itu kemudian ketika kami menyortir udang lampu-lampu meredup dan mereka “sibuk” karenanya.
Kami disambut dengan ramah. Di sana sudah banyak orang. Beberapa di antaranya sudah saya kenal sebelumnya, saat acara majlis taklim.
Sambil menunggu arus laut surut, kami mengobrol di teras pondok. Pak Ichwani cerita banyak soal pengalaman hidupnya di Brunei sebagai tenaga kerja. Dia juga cerita tentang tambak ketika saya menanyakannya.
Lewat pukul 12. Setelah air surut, Pak Bar dan beberapa orang lain mulai turun ke tambak. Mereka membongkar penutup saluran air dan memeriksa jaring di ujung “lubang” air. Lelaki lain menyiapkan tempat untuk menuangkan hasil panen dari dalam jaring.
Penutup saluran air, berupa parit lebih kurang 40 centi dibuka. Seketika sedikit. Airnya begemuruh. Tak lama kemudian jaring di ujung lubang air diangkat. Udang bercampur lumpur terlihat. Saya melihat cukup banyak. Tetapi, ada suara kecewa melihat hasil angkatan pertama ini.
Kami mulai memilih udang windu, udang alam, udang poname dan ikan. Udang windu dimasukkan ke dalam wadah berisi air karena akan dipindahkan ke kolam lain. Udang ini masih harus dibesarkan lagi. Ciri udang ini: ada belang-belang hitam.
Sedangkan udang poname yang rata-rata berukuran telunjuk dimasukkan ke dalam boks merah. Setelah itu diberi es dan siap dibawa ke Pontianak dengan kapal atau motor air. Sementara itu udang alam dimasukkan ke dalam ember. Udang alam ada dua jenis, jenis yang kecil disebut udang sungkur, dan jenis besar disebut udang bangkit, udang sudu’, udang kuning, udang bunga.
Ikan juga ada satu dua yang harus dipisahkan. Ikan kecil yang berukuran dua tiga inci –seperti ikan bilis, tamban, jekang, kepite’, disatukan dengan udang alam kecil, sedangkan ikan besar –seperti bandeng, kerapu, dipisahkan sendiri.
Setelah udang dan ikan dipilih, Pak Ichwani dan beberapa lagi lelaki mengangkat kembali jaring. Penyortiran dilakukan. Berkali-kali hal itu berulang. Sampai azan subuh berkumandang panen belum selesai.
Saya sempat berbaring membujurkan pinggang. Kami juga sempat istirahat makan malam dengan udang alam besar (jempol kaki) dan ikan bandeng bakar. Hingga azan subuh sudah ada beberapa boks merah terisi. Panen kali ini terhitung berhasil. (Bagian 2/Bersambung)