Oleh: Dedi Ari Asfar
Pada 23 Oktober – 10 Nopember 2020 digelar Festival Nadi khaTULIStiwa. Banyak event dihelat di dalam memaknai hari jadi Kota Pontianak sekaligus hari kesaktian Pancasila, lahirnya TNI, Sumpah Pemuda, hingga Hari Pahlawan secara daring (dalam jaringan) atau secara online. Ada serangkaian kegiatan webinar (web seminar) klasifikasi regional dan internasional. Juga event musik-sastra-budaya.
Khusus untuk budaya pantun, melalui Festival Nadi khaTULIStiwa ini ditujukan pula untuk memecahkan rekor, sehingga tercatat sebagai warisan budaya dunia takbenda di badan budaya dunia Unesco. Unesco benaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menurut pakar perbandingan bahasa-bahasa Polinesia-Austronesia Brandstetter, kata “Pantun” berasal dari akar kata tun yang terdapat juga dalam bahasa-bahasa di Nusantara, misalnya bahasa Pampanga tuntun, yang bererti teratur; dalam bahasa Tagalog tonton, mengucapkan sesuatu dengan susunan yang tertentu; dalam bahasa Jawa Kuno tuntun berarti benang, atuntun, teratur, dan matuntun, bererti memimpin.
Dalam bahasa Bisaya, panton bermakna mendidik; bahasa Toba, pantun adalah kesopanan atau kehormatan. Ringkasnya akar kata tun dalam bahasa-bahasa Nusantara merujuk pada sesuatu yang teratur, yang lurus, baik secara konkret atau abstrak.
Dalam bahasa Melayu kata tun diartikan juga sebagai kiasan atau perumpamaan dengan maksud mengandung unsur-unsur pepatah dan peribahasa. Hal ini dapat dilacak dalam Kamus Besar Melayu Nusantara (2003:1981) yang menjelaskan ciri-ciri pantun terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b), tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk (pembayang/sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi/maksud. Selain itu, ada juga pengertian pantun yang menjelaskan pantun sejenis peribahasa yang digunakan sebagai sindiran.
Pantun merupakan milik masyarakat Melayu asli. Jika Winstedt pernah menyatakan pantun tercipta berdasarkan seloka India dalam bentuk empat larik atau dari puisi klasik Cina “Syiching” tidaklah dapat diterima. Pantun sebagaimana genre puisi tradisional Melayu yang lain, mempunyai jalur dan warnanya yang tersendiri, berbeda dengan puisi dari India, Cina, Arab, atau Parsi.
Menurut Harun Mat Piah (1989) pantun telah wujud dalam tradisi lisan Nusantara, sekurang-kurangnya dalam bentuk prototipe sebelum atau sezaman dengan pengaruh Hindu, atau sebelum kedatangan agama Islam.
Indonesia dan Malaysia secara bersama-sama mengajukan pantun sebagai warisan budaya takbenda dunia ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Warisan budaya takbenda dunia yang dimiliki bersama oleh Indonesia dan Malaysia akan disidangkan pada awal tahun 2021. Demi mendukung pantun sebagai WBTB dunia maka Pontianak sebagai kotanya orang Melayu harus mengambil peran untuk memfasilitasi pantun dalam bentuk festival. Festival Pantun Nusantara yang melibatkan multipihak (antarprovinsi dan antarnegara). Festival ini diharapkan memecahkan rekor dunia sebagai pertunjukan daring/online yang berisikan beraneka hal berkenaan dengan pantun. Pertunjukan daring ini berisikan berbagai konten mulai dari bincang akademik sampai dengan berbalas pantun dari semua kalangan, seperti maestro pantun, budayawan, tokoh masyarakat, komunitas, seniman, dosen, mahasiswa, guru, dan siswa. Rekam jejak digital mengenai pantun harus ada dan lahir dari Kalimantan Barat sebagai tanah leluhur nenek moyang Melayu Purba.
(Penulis adalah pegiat pantun di Asosiasi Tradisi Lisan dan bekerja di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat).