teraju.id, WWF– Aktivis lingkungan hidup yang berkumpul dalam satu diskusi asap berhasil mengukuhkan sikap “Lawan”. Diskusi dengan tagar #melawanasap2 bertempat di Kantor WWF Kalimantan Barat, berlangsung 22 Agustus 2016 melahirkan segenap catatan.
Pertama, bahwa Kalbar peringkat 1 hotspot terbanyak se-Indonesia. Kedua, 50% titik api berada di dalam unit manajemen (kebun dan hutan). Oleh karena itu, langkah konkrit yang disimpulkan dalam diskusi adalah adanya proses litigasi dan perlu dicoba (lesson learn kerja EoF di Riau) di mana di Riau berhasil menggolkan vonis berat bagi perusahaan pembakar lahan. Kemudian, beberapa ijin kebun yang tahun lalu sudah mendaptkan SP3, maka tahun ini semestinya sudah tidak ada titik api dalam konsesinya.
Pada tahun 2015, EoF pernah mengeluarkan data kemudian dibantah oleh pihak Polda Kalbar, maka pada tahun 2016 perlu dipublikasi lagi dan kalau terjadi perdebatan lagi, maka perlu dilakukan sinkronisasi data antara Polda – NGO
Dari sekian titik api yang ada, titik api yang berada di luar ijin perlu juga mendapatkan perhatian (meminimalisir tendensius NGO terhadap perusahaan).
Perlu dilakukan analisa hotspot di luar konsesi. Data hotspot menggunakan data sipongi (Kementerian LHK), supaya menjadi acuan yang pasti karena sumbernya dari pemerintah. Namun untuk data konsesi terutama ijin perkebunan sulit sekali untuk didapatkan.
Perlu dianalisa, per hotspot itu memiliki radius berapa hektar. Ada 2 kasus sebagai contoh, yakni terdapat 1 titik api dari analisa citra dan di lapangan ternyata 400 ha yang terbakar. Kasus lainnya terdapat titik api, namun di lapangan tidak ada lahan yang terbakar. Maka titik api selalu kontroversial. Groundchek menjadi hal yang paling utama untuk memperkuat analisa karhutla. Oleh karena itu jika mau pelaporan kasus, groundchek perlu dilakukan.
Diskusi melawan asap juga menyimpulkan perlunya dibuat langkah strategis berupa respon cepat (aksi kampanye), jangka panjang (pelaporan kasus dan perlu dilakukan groundcheck terlebih dahulu). Perlu aksi yang terfokus dengan menyajikan data baru yang lebih konkrit.
Pertemuan atau diskusi aktivis kali ini perlu ada calling kepada para pihak (pemerintah, swasta dan aparat penegak hukum). Bahwa melawan asap adalah kesepakatan bersama. Demikian agar karhutla yang selalu hadir setiap tahun, dan negara selalu tidak hadir dalam upaya mengatasinya tidak terulang. “Apakah mungkin bagi kita semua untuk membangun satu strategi yang mendorong langkah nyata dari ‘negara’ dengan partisipasi publik yang lebih luas?” peserta diskusi berupaya menjawab dengan karya nyata.
Lebih konkritnya sistem peringatan dini (early warning system/EWS) yang sudah dipraktekan oleh pihak swasta perlu di adopsi oleh pemerintah. Sayangnya EWS di Kalbar tidak ada yang mudah dilihat oleh publik. Langkah lebih lanjut dari tagar melawan asap yakni pertemuan di kawasan Bambu Digulis, 25/8/16 mendatang. (rilis)