Oleh: Hermayani Putera
“Bang Herma, setelah selesai presentasi di sesi ITTO, besok bisa ikut demo WWF Network ‘kan? tanya Saipul Siagian, rekan dari tim komunikasi WWF-Indonesia di Kantor Jakarta lewat telepon. Malam itu, Senin, 10 Desember 2007, aku baru saja diundang makan malam oleh Kurniawan sekeluarga. Kurniawan adalah sahabatku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), rekan KKN UMY di Desa Mulo, Gunung Kidul tahun 1996.
Kami bertemu saat aku keluar dari Bandara Ngurah Rai Denpasar, dua hari sebelumnya, dan melewati counter money changer BNI, dan pas waktu itu dia sedang bertugas. Tiba-tiba saja kami saling bertatapan. Ya, sesimpel itu cara Allah mempertemukan kami berdua bertemu lagi setelah 11 tahun berpisah.
Saat itu Bali disorot dunia, karena menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim PBB pada tanggal 3-14 Desember 2007. Konferensi yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) ini adalah penyelenggaraan ke-13 membahas dampak perubahan iklim global, dan mendiskusikan kesiapan negara-negara di dunia dalam mengurangi efek gas rumah kaca setelah kesepakatan sebelumnya, Protokol Kyoto kadaluwarsa pada tahun 2012.
Sekitar sembilan ribu peserta delegasi dari 186 negara hadir dalam pertemuan ini, diliput oleh lebih dari seribu jurnalis dari sekitar tiga ratus media internasional. Masyarakat sipil sebagai kelompok penekan (pressure group) juga hadir dalam event ini. Tercatat lebih dari 300 LSM ikut berpartisipasi, baik yang setuju dengan agenda perubahan iklim maupun yang anti dan berpandangan bahwa perubahan iklim adalah sebuah ilusi.
Aku di Bali memenuhi undangan dari Dr. Hwan-ok Ma, sahabat kental asal Korea Selatan di International Tropical Timber Organization (ITTO) yang menggelar side event dalam KTT Perubahan Iklim ini. Aku membawakan makalah tentang dua topik. Pertama, pengalaman mengembangkan program kerjasama lintas batas dalam pengelolaan kawasan konservasi antara Betung Kerihun dan Batang Ai National Park (BANP) dan Lanjak Entimau Wildlife Sanctuary (LEWS), Sarawak, Malaysia. Kedua, pengalaman WWF ikut terlibat dalam jaringan masyarakat sipil di Kalbar dalam memerangi pembalakan liar (illegal logging).
Aku mengenal Dr. Ma ketika ITTO mendanai program WWF membantu Departemen Kehutanan dalam implementasi rencana pengelolaan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) tahun 2002 hingga 2005. Walaupun dukungan ITTO sudah selesai, hubunganku dengan Dr. Ma tetap terbangun.
Beberapa kali aku mengirimkan email, update perkembangan program WWF pasca dukungan ITTO. Dia sangat senang, keberlanjutan program bantuan ITTO di Betung Kerihun kemudian diperluas skalanya ke Kapuas Hulu dan tempat lain di Kalbar oleh WWF melalui berbagai sumber pendanaan.
Aku mengiyakan tawaran Ipul. Ikut menjadi bagian dari WWF-Network dalam momen strategis seperti ini tentu saja sangat sayang untuk dilewatkan.
“Tapi ada tugas khusus nih buat Bang Herma dalam kampanye besok. Semoga Abang bersedia ya?” Ipul menyambung pembicaraan kami.
“Tugas apa tuh Pul?” tanyaku balik.
“Memakai kostum penguin. Boleh ya Bang?” pintanya, setengah membujuk.
“Kita lihat besok ya,” jawabku, sambil tertawa, membayangkan suasana kampanye besok.
Selasa pagi (11/12/2007), tim besar WWF-Internasional yang terdiri dari berbagai negara, sudah menyiapkan diri sesuai pembagian tugas masing-masing. Aku pun mulai memakai kostum penguin. Irza Rinaldi (Oi’), teman dari WWF Kantor Jakarta menemaniku memakai kostum penguin. Sementara Iwan Wibisono, rekanku yang lain, menggunakan kostum siput.
Hari itu mulai memasuki hari-hari terakhir perumusan kesepakatan negara-negara. Dua rekan kami, Fitrian Ardiansyah dan Ari Mochamad, berjuang dari dalam, ikut menjadi anggota Delegasi RI (Delri). Dari mereka kami mendapat update bagaimana alotnya negosiasi antar delegasi.
Di luar, WWF-Internasional berunjuk rasa di depan pintu masuk utama Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali. Penguin adalah simbol kekuatiran warga bumi akibat hilangnya rumah penguin akibat mencairnya es di Kutub Selatan, yang menyimpan tiga per empat cadangan air tawar di bumi. Dan siput menjadi simbol mengingatkan seluruh negara peserta konferensi untuk tidak lamban mencapai kesepakatan, seperti jalannya seekor siput.
Pada salah satu sesi aksi damai ini, digambarkan penguin kelelahan akibat pemasan global ini, kemudian istirahat dan tertidur di kursi, sambil tak berdaya menyaksikan es yang terus meleleh. Juga lelah menunggu lamanya perundingan di ruang konferensi.
“Bang Herma saja ya yang duduk dan tidur di kursi, ya?” pinta Oi’. Aku mengangguk setuju. Beres, Bos.
Oi’ tidak tahu ada skenario yang sedang berjalan. Setelah cukup lelah ikut rangkaian side event ITTO, aku memang kurang istirahat. Tidur adalah obat utamanya.
“Bang, bangun Bang. Acara kita sudah selesai. Sukses besar Bang. Banyak media yang meliput,” kata Ipul, sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Acting Bang Herma sempurna ya, dihayati sepenuh hati. Benar-benar tidur,” katanya, sambil tertawa ngakak.
Aku belajar dari kreativitas dari tim komunikasi WWF-Internasional yang bekerjasama dengan tim WWF dari berbagai negara, terutama WWF-Indonesia sebagai tuan rumah. Ternyata ikut kampanye dan advokasi, bahkan di tingkat global seperti ini juga bisa dilakukan dengan cara yang simpel, having fun, bahkan bisa sambil istirahat. Yang penting pesan yang ingin disampaikan bisa ditangkap dan diterima oleh publik, terutama media. Aku sendiri membuktikannya, hehe…
“Lanjut tidur, Bang Herma,” kata Ipul, mengajakku masuk ke mobil yang mengantarkan kami ke penginapan.
Salam Lestari, Salam Literasi
#MenjagaJantungKalimanta,#KMOIndonesia,#KMOBatch25,#Sarkat,#Day21,#hermainside,#SalamLestariSalamLiterasi