Oleh: Hermayani Putera
“Yah, ada surat dari Bu Guru. Ayah diminta cerita tentang pekerjaan orangtua di depan kelas Adek, hari Jumat minggu depan Yah,” kata Aulia, anak bungsuku, via telepon. Saat itu aku masih berada di luar kota. “Oke Dek, nanti ayah telepon balik ke Bu Ina dan Bu Sita ya. Atau kalau sudah di Pontianak, Ayah ketemu langsung dengan Bu Ina dan Bu Sita pas antar jemput Adek sekolah ya,” jawabku.
Sejak 2008, melihat perkembangan portofolio program WWF di Kalbar yang semakin besar, manajemen WWF-Indonesia di Jakarta memutuskan untuk semakin mengaktifkan lagi kantor di Pontianak yang sebelumnya sempat ditutup tahun 2003, dan aku mendapat penugasan mengkoordinir kantor Pontianak.
Sebelumnya, tepatnya sejak tahun 2005, WWF sudah membuka kantor lagi di Pontianak, tapi dengan lingkup yang lebih kecil, fokus pada upaya advokasi sawit, di bawah koordinasi Pak Purwo Susanto.
Beberapa program baru yang lingkupnya lintas sektor dan lintas wilayah menuntut banyak interaksi dan koordinasi dengan stakeholder yang semakin beragam di Kalbar dan beberapa kabupaten lain di luar Kapuas Hulu. Kemudian pada tahun 2010, WWF juga membuka kantor di Sintang mengingat kebutuhan interaksi yang semakin meningkat di Sintang dan Melawi.
Perpindahanku ke Pontianak membuatku punya lebih banyak waktu bersama keluarga. Walaupun masih harus sering travelling ke luar daerah dan kadang juga ke luar negeri, aku masih bisa mengiringi aktivitas sekolah dan tumbuh kembang Fikri, Akbar, dan Aulia. Fikri dan Akbar sudah di SD, sementara Aulia mulai masuk TK.
“Apa yang perlu saya ceritakan nanti ya Bu?” tanyaku kepada Bu Sita, sehari sebelum jadwal bercerita di kelas. Aku sempatkan bertemu guru kelas Aulia ini, sambil menjemput Aulia pulang sekolah.
“Ayah cerita saja apa yang dikerjakan selama ini kepada anak-anak, tentang suka dukanya. Kalau boleh ngasi bocoran nih, Aulia tuh banyak cerita tentang pekerjaan Ayah. Kadang sedih kalau sudah Ayah pergi lama ke lapangan, tapi lain waktu Aulia senang sekali kalau pulang Ayah suka cerita apa yang dikerjakan di lapangan,” terang Bu Sita.
“Intinya, kami berharap lewat cerita Ayah nanti, Aulia bangga dengan pekerjaan Ayah. Dan bagi anak-anak yang lain, mereka bisa mengenali pekerjaan orangtua kawannya,” lanjutnya.
“Dengan cara mengenalkan anak-anak tentang beragam profesi yang ditekuni oleh orangtua masing-masing, diharapkan tumbuh rasa syukur terhadap apa yang sudah diberikan Allah kepada orangtua anak-anak, dan tumbuh semangat belajar dan berani punya cita-cita untuk masa depan mereka nanti,” sambung Bu Ina, melengkapi penjelasan Bu Sita.
“Baik Bu, saya akan coba siapkan materinya sebaik mungkin. Saya gabungkan sekalian dengan materi pendidikan lingkungan boleh ya Bu,” jawabku kepada kedua guru Aulia ini.
“Alhamdulillah, ini bagus sekali Ayah, kami sangat mendukung. Memang ada satu poin yang terus ditanamkan kepada anak-anak di Al-Azhar ini tentang cinta terhadap lingkungan sebagai bagian dari mensyukuri kebesaran ciptaan Allah,” tanggap Bu Sita, senang sekali.
Aku memulai sesi di kelas Aulia pagi itu dengan mendongeng tentang orangutan. Harapannya, anak-anak tidak bosan dengan penjelasan yang terlalu teknis tentang profesi orangtua. Alhamdulillah, cerita pengantarku tentang mengapa orangutan harus tetap ada di ‘rumahnya’ di hutan dan mengapa ‘rumah’ orangutan harus kita jaga bersama, berhasil memancing beberapa kawan Aulia tertarik bertanya lebih jauh tentang orangutan. Ada yang bertanya, siapa yang memberi makan orangutan. Ada juga yang bertanya, apa saja yang dimakan orangutan. Kalau orangutan lahir, siapa bidannya.
Seru ya cara anak-anak bertanya, kadang-kadang sama sekali jauh dari bayangan kita sebelumnya. Sangat khas anak-anak. Sampai sejauh ini, semuanya bisa kujawab berdasarkan beberapa referensi dan bekal dari Albert dan Mas Uyung, pakar orangutan yang kami miliki di WWF.
Akhirnya, muncul pertanyaan kawan Aulia yang satu ini, tapi bukan tentang orangutan. “Ayah Aulia kalau kerja pakai seragam apa ya?” Aku segera menyadari, bahwa di kepala anak-anak, bayangan tentang pekerjaan orangtua hampir identik dengan bekerja di kantor, berangkat pagi pulang petang, dan memakai seragam.
Sempat kelabakan dengan pertanyaan yang tak terduga ini, aku mencoba menjelaskan kepada anak-anak bahwa pekerjaan orangtua mereka sangat beragam. Ada yang bekerja dengan seragam yang sudah ditentukan, seperti pegawai negeri, tentara, polisi, guru, dan tenaga kesehatan. Tapi ada juga yang bekerja tanpa ditentukan seragamnya seperti apa, seperti pekerjaanku.
Aku coba mengalihkan materi agar fokus mereka tidak lagi pada seragam. Aku kuatir kehabisan amunisi dan tidak mampu menjawabnya lagi, hehe…
“Siapa yang senang jalan-jalan?” tanyaku kepada anak-anak.
“Saya… saya… saya…” anak-anak nyaris serentak menjawab, sambil mengacungkan tangan mereka.
“Nah, pekerjaan Ayah ini adalah salah satu contoh pekerjaan yang bisa menyalurkan hobi kita jalan-jalan. Bisa jalan ke hutan, danau, pantai, laut. Bahkan kadang-kadang Ayah juga dapat rezeki kesempatan ke beberapa tempat yang sebelumnya cuma ada di mimpi kita. Kuncinya satu, kita harus menekuni pekerjaan kita, ya anak-anak,” jawabku.
“Ayah Aulia sudah kemana saja?” tanya teman Aulia yang lain. Aku senang, berarti upayaku mengalihkan perhatian mereka dari seragam tadi berhasil. Aku menceritakan beberapa perjalanan yang seru dan menarik ketika bertugas ke berbagai pelosok Kalimantan dan wilayah Indonesia yang sangat luas.
Tak lupa kuceritakan juga pengalaman perjalanan ke Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Jepang, China, Malaysia, Brunei, Thailand. Aku berharap, setelah sesi hari ini, anak-anak tumbuh kecintaannya kepada lingkungan, bersemangat menjelajahi nusantara, berani melihat banyak tempat di dunia, dan semakin tumbuh penghargaan dan syukur mereka kepada profesi yang dijalani oleh orangtuanya masing-masing.
“Terima kasih ya Bu Sita dan Bu Ina, sudah memberikan kesempatan bercerita tentang lingkungan kepada anak-anak di kelas tadi,” aku pamit kepada kedua guru Aulia ini.
“Kami juga berterima kasih kepada Ayah, membuat suasana meriah pagi ini di kelas,” kata Bu Ina. “Semoga ada anak-anak yang meneruskan semangat Ayah, ikut melestarikan alam kita,” sambung Bu Sita.
Salam Lestari, Salam Literasi
#MenjagaJantungKalimantan,#KMOIndonesia,#KMOBatch25,#Sarkat,#Day22,#hermainside,#SalamLestariSalamLiterasi