in

Pro-Kontra Museum jadi Mesjid dan Mesjid jadi Bar–Robert Mark: “Tuhan yang Disembah Umat Kristen dan Islam adalah Tuhan yang Sama”

Hagia Sophia menjadi Masjid

WhatsApp Image 2020 07 18 at 06.36.00
Hegia Sophia yang kini disambut pro-kontra masyarakat dunia. Foto internet


teraju.id, Internasional— Planet bumi ini tidak pernah padam dari terbelahnya pikiran dan ucapan. Terkini di level internasional adalah Turki. Turki menetapkan perubahan museum menjadi masjid dan ditentang Paman Sam sampai ke Vatikan. Bagaimana jalan ceritanya?

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengubah monumen ikonik Hagia Sophia menjadi masjid. Dunia pun “pambar” dalam sepekan terakhir ini, Sabtu, 18/7/2020.
Menurut Kantor Berita Turki, organisasi muslim seperti Uni Magrib Arab (The Magrib Arab Union), organisasi Ikhwanul Muslimin, juga dengan bersemangat mendukung langkah Presiden Erdogan itu. Pihak-pihak itu menyebut momen tersebut sebagai “langkah sejarah” atau “peristiwa bersejarah” dalam Islam. Di sisi lain, menurut Reuters, kritik atas keputusan itu juga tak kalah banyaknya dari petinggi negara dan pemimpin agama dunia. Bahkan, Paus Fransiskus dari Vatikan mengaku sangat sedih atas perubahan status Hagia Sophia tersebut.

Polemik tersebut tidak terlepas dari sejarah panjang Hagia Sophia yang telah melewati masa lebih dari 1,5 milenium.

Selama 15 abad terakhir, Hagia Sophia menurut tirto, menjadi saksi bisu sejarah berlangsungnya transisi rezim yang menguasai Konstantinopel (kini Istanbul), mulai dari pagan, Kekaisaran Byzantium penganut Katolik Ortodoks, Kesultanan Ottoman (Utsmaniyah) sampai era Turki modern.

Secara garis besar, lanjut tirto, sejarah panjang Hagia Sophia dapat dipilah menjadi empat fase. Pada empat fase itu, alih fungsi Hagia Sophia terjadi bergantung pada siapa rezim yang berkuasa di Istanbul. Hagia Sophia pada Era Kekaisaran Bizantium dalam bahasa Turki, Hagia Sophia disebut Ayasofya, dan di bahasa Latin: Sancta Sophia.

Hagia Sophia juga pernah dikenal sebagai Gereja Kebijaksanaan Suci (Church of the Holy Wisdom) dan Gereja Kebijaksanaan Ilahi (Church of the Divine Wisdom). Menurut ensiklopedia Britannica, bangunan Hagia Sophia pertama kali didirikan di atas pondasi atau tempat kuil pagan pada 325 Masehi, atas perintah Kaisar Konstantinus I. Putranya, Konstantius II, lalu menjadikan bangunan ini sebagai gereja Ortodoks pada 360 masehi. Hagia Sophia kemudian menjadi gereja tempat para penguasa dimahkotai dan menjadi katedral paling besar yang beroperasi sepanjang periode Kekaisaran Bizantium.

Hagia Sophia sekaligus menjadi saksi sekaligus korban pusaran konflik di tengah pelbagai kejadian yang menerpa Kekaisaran Bizantium. Hagia Sophia juga pernah direparasi secara besar-besaran beberapa kali pada era ini.

Sebagaimana dilansir dari History, Hagia Sophia semula hanyalah bangunan beratap kayu dan tak semegah yang sekarang. Pada tahun 404 masehi, Hagia Sophia sempat terbakar akibat kerusuhan karena konflik politik di kalangan keluarga Kaisar Arkadios yang kemudian menjadi penguasa Bizantium pada 395-408 masehi. Selepas Arkadios mangkat, penerusnya, Kaisar Theodosis II membangun struktur kedua di Hagia Sophia. Di bangunan ini, ditambahkan lima nave dan jalan masuk khas gereja dengan atap terbuat dari kayu.

Lalu, sebagaimana dicatat Encyclopedia Britannica, pembangunan gereja Hagia Sophia berlanjut di masa kekuasaan Justinan I (532 M). Perbaikan dilakukan karena Hagia Sophia rusak akibat rusuh yang terjadi saat revolusi Nikka. Setelah kerusuhan yang melanda Konstantinopel itu, Justinian I memerintahkan arsitek terkenal pada masanya, Isidoros (Milet) dan Anthemios (Tralles), untuk mendirikan ulang bangunan Hagia Sophia.

Pada masa Kaisar Justinian I inilah yang paling masyhur diakui sebagai fondasi awal dari bangunan Hagia Sophia yang sekarang demikian terkenal. Kubah yang menaungi Hagia Sophia juga diklaim sebagai kubah bangunan terbesar kedua selepas Gereja Pantheon di Roma. Bangunan ini dianggap warisan arsitektur terpenting dari era Bizantium dan merupakan bagian dari monumen warisan dunia.

Hagia Sophia pada Era Kesultanan Ottoman Pada 1453, era Kekaisaran Bizantium berakhir karena ditaklukkan oleh Sultan Mehmet/Mehmed II dari Kekaisaran Ottoman. Setelah Sultan Mehmed II menaklukkan Konstantinopel, status Hagia Sophia dikonversi menjadi masjid.

Nama Hagia Sophia masih dipertahankan oleh Sultan Mehmed II. Sebagaimana arti kata sophia dalam bahasa Yunani adalah kebijaksanaan, maka arti lengkap dari Hagia Sophia adalah tempat suci bagi Tuhan.

Sultan Mehmed II mempertahankan kesucian Hagia Sophia dan hanya mengubah status fungsinya dari gereja menjadi tempat ibadah umat Islam. Salah satu alasan Sultan Mehmed II: “Tuhan yang disembah umat Kristen dan Islam adalah Tuhan yang sama,” tulis Robert Mark dan Ahmet S. Cakmak yang dikutip dari Diegesis di Hagia Sophia from the Age of Justinian to the Present (1992: 201).

Saat berubah menjadi masjid di era Mehmed II, banyak mosaik dan lukisan bercorak Kristen, yang menghiasai bangunan Hagia Sophia, ditutupi dan diplester. Seniman kaligrafi terkenal pada masa itu, Kazasker Mustafa İzzet, kemudian mengguratkan tulisan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, empat khalifah pertama, dan dua cucu Rasulullah SAW, di beberapa bagian interior Hagia Sophia.

Pada masa Kesultanan Ottoman, struktur bangunan Hagia Sophia memperoleh sentuhan arsitektur Islam. Misalnya, mihrab yang kemudian dibangun, hingga pendirian empat menara yang digunakan untuk melantunkan Adzan.

Bangunan seperti madrasah, perpustakaan hingga dapur umum juga melengkapi Hagia Sophia pada masa Ottoman. Pada era Kekaisaran Ottoman, bangunan Hagia Sophia sempat difungsikan menjadi masjid selama 482 tahun.

Hagia Sophia pada Era Pemerintahan Kemal Ataturk selepas Kekaisaran Ottoman bubar dan Turki menjadi negara republik, Hagia Sophia pun kembali beralih fungsi. Pendiri dan presiden pertama Republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk mengubah status Hagia Sophia menjadi museum.

Setelah Hagia Sophia menjadi museum, dilakukan restorasi mosaik-mosaik kuno di bangunan ini dan plester penutupnya dibuka. Lantas, selepas plester ornamennya dibuka, tampaklah lukisan Bunda Maria dan bayi Yesus, yang ternyata berjejer dengan kaligrafi Allah dan Muhammad SAW.

Hagia Sophia kemudian diakui sebagai salah satu dari situs Warisan Dunia UNESCO yang disebut Area Bersejarah Istanbul, sejak tahun 1985.

Juli 2020 jalan panjang Hagia Sophia saat ini memutar lagi. Karena putusan pengadilan administrasi utama Turki, status Hagia Sophia sebagai museum dicabut. Tepatnya pada 10 Juli 2020.

Pada masa pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan ini, Hagia Sophia diubah status fungsinya kembali menjadi masjid. Perubahan ini menuai kontroversi. Saking kontroversialnya, Perdana Menteri Kyriakos Mitsotakis dari Yunani menuding keputusan itu sebagai penghinaan terhadap karakter ekumenis dari Hagia Sophia.

Sementara itu, UNESCO memberi peringatan bahwa perubahan status Hagia Sophia harus ditinjau oleh komite badan PBB tersebut. Oleh karena Hagia Sophia sejak 1985 dianggap bagian dari Situs Warisan Dunia, pengubahan status bangunan ini harus diberitahukan terlebih dahulu dan melalui proses peninjauan UNESCO.

“Penting untuk menghindari keputusan apa pun sebelum berunding dengan UNESCO, yang akan memengaruhi akses fisik ke situs, struktur bangunan, properti yang dapat dipindahkan, atau manajemen situs bersejarah,” kata Ernesto Ottone, Asisten Direktur UNESCO belum lama ini. Menurut UNESCO, tindakan-tindakan semacam itu bisa dianggap pelanggaran aturan yang sudah tertera di Konvensi Warisan Dunia 1972.

Respons berbeda dunia terhadap perubahan Hagia Sophia dari museum menjadi masjid amat berbeda dengan reaksi ketika masjid Al Ahmar diubah menjadi kelab malam.

Menurut detik, masjid Al Ahmar yang dikuasai oleh geng Yahudi pada 1948 itu semula diubah menjadi sekolah Yahudi, kemudian menjadi pusat kampanye pemilu Partai Likud. Sebelum menjadi bar, masjid itu juga sempat digunakan sebagai gudang pakaian.

“Saya terkejut ketika saya melihat aspek sabotase di dalam masjid,” kata sekretaris badan abadi Islam Palestina, Khair Tabari, mengatakan kepada surat kabar yang berbasis di London, Al Qodus Al Arab, seperti dilansir Gulf News pada 14 April 2019.
Bertahun-tahun yang lalu, Tabari mengajukan gugatan ke pengadilan Nazareth, meminta penyerahan masjid ke dana abadi Islam. Tapi, pengadilan belum memutuskan gugatan tersebut ketika itu.

Tapi, dunia mengabaikan tuntutan Tabari itu. Tak ada yang bersuara atas perubahan fungsi masjid tersebut. Media-media terbitan setempat menyebut perubahan masjid menjadi bar tersebut dilakukan di tengah kesunyian teramat sangat. Kontras dengan komentar pro dan kontra untuk Hagia Sophia.

Padahal, sejarawan menyebut Al Ahmar dibangun sebagai masjid. Sebuah tanda batu di pintu masuk ke masjid menyatakan bangunan itu dibangun pada 1276 Masehi.
“Masjid Al Ahmar mendapatkan namanya dari batu merahnya. Saat ini, digunakan dalam beberapa acara kecuali sebagai tempat salat bagi umat Islam,” kata sejarawan dan penduduk asli Safad, Mustafa Abbas.

“Umat Muslim yang mengunjungi tempat itu menghadapi serangan dari penjajah Yahudi. Masjid ini memiliki nilai sejarah dan arsitektur yang langka karena didirikan oleh Mameluke Sultan Al Daher Baibars (1223-1277 M),” Abbas menambahkan.
Pergantian fungsi masjid Al-Ahmar itu membuat otoritas Israel dituduh melanggar batas secara sistematis di situs-situs Islam di wilayah Palestina yang diduduki dengan tujuan melenyapkan identitas mereka. (kan)

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

WhatsApp Image 2020 07 18 at 05.50.04

Cuma 15 Menit UMKM Dapat Kredit dari Ekosistem Digital

WhatsApp Image 2020 07 18 at 06.49.48

Bongkar Tindakan Oknum Jenderal, ICW Puji Kapolri