Oleh: Suci Nurul Baiti *
Ibarat spons, lahan gambut menyerap air ketika musim hujan, menyimpannya, dan melepaskannya ketika musim kemarau.” ujar Arifin, Kepala Desa Sumber Agung saat menjelaskan apa itu lahan gambut kepada peserta.
Desa Sumber Agung merupakan desa yang dikunjungi oleh peserta dan panitia Qureta dalam Ekspedisi Kubu. Kegiatan ini merupakan bagian dari Workshop & Kelas Menulis yang dilakukan selama 1 hari 1 malam pada 28-29 April 2017. Tujuan dari kegiatan ini untuk mengobservasi berbagai potensi yang ada, seperti mengamati potensi kopi, nipah, dan karet.
Desa Sumber Agung menjadi pilihan karena di lokasi tersebut banyak potensi yang sudah dikembangkan. Desa ini terletak di kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Indonesia. Desa ini dihuni dari tahun 1989 dan mayoritas penduduknya adalah transmigran dari Pulau Jawa.
Analogi spons ini pun membuat peserta workshop Qureta-Belantara semakin antusias dan penasaran ingin mengenal lahan gambut. Sambil mencoba berpijak di empuknya lahan gambut, beberapa peserta Qureta melontarkan pertanyaan. Namun satu hal yang sangat menarik perhatian mereka, ketika perjalanan mencapai sebuah parit di tengah-tengah luasnya lahan gambut. “Untuk apa parit ini Pak? Untuk irigasikah?” seorang peserta mengajukan pertanyaan sambil menunjuk ke arah parit itu.
Tebakan yang sama terpikirkan di benak saya ketika melihat ada sebuah saluran air mirip sungai kecil di hadapan kami. “Kanal itu mungkin dibuat untuk keperluan irigasi lahan perkebunan kopi di sekitarnya,” pikirku dalam hati. Kanal itu terhubung dengan sungai, membentuk sebuah pertigaan yang tepat di atasnya terdapat jembatan. Aku pun melangkah ke jembatan itu, berharap mendapat view yang lebih baik. Dari atas jembatan terlihat keanehan di mana ada perbedaan ketinggian air yang mencolok antara kanal di depanku dengan sungai di belakangku. Sungainya tidak kering, cukup basah oleh genangan air yang rendah. Sangat berbeda dengan kanal itu yang ketinggian airnya kira-kira hanya 40 cm dari permukaan tanah. Kepala Desa pun berjalan sedikit ke pinggir kanal, hendak menjawab pertanyaan peserta tadi.
“Ini adalah kanal sekat, sebuah sarana pencegah kebakaran lahan gambut,” ujarnya sambil menunjuk kanal tersebut.
Secara singkat ia menjelaskan, kanal sekat berfungsi untuk menjaga lahan gambut tetap basah. Air di kanal diserap oleh tanah dan mencegah kekeringan lahan gambut yang beresiko kebakaran. Banyaknya material karbon organik seperti metana dan CO2 yang tersimpan di bawah lahan gambut menyebabkan lahan ini sangat mudah terbakar. Ketika kemarau tiba, titik panas api (hotspot) banyak timbul di lahan gambut. Bahkan ketika upaya pemadaman dilakukan, api yang terletak di dalam tanah akan sulit dideteksi.
Sewaktu-waktu api dapat muncul kembali ke permukaan tanah dan membakar hutan. Sehingga cara terbaik mencegah terbakarnya lahan gambut adalah dengan menjaga lahan tetap basah. Kalaupun tetap terbakar, pengelola lahan dapat berupaya memadamkannya dengan kanal tersebut sebagai sumber air. “Bagaimana agar air di kanal tetap menggenang, Pak?” tanya peserta lainnya.
Pak Arifin kemudian menyingkir sedikit ke tepi kanal dan menunjuk bagian bawah jembatan.
“Antara kanal dan sungai dibuat sekat agar air di kanal tidak keluar ke sungai. Dengan begini, kanal tetap tergenang air meski sungai mengering,” jawab Pak Arifin.
Untuk mengatur ketinggian dan mencegah air meluap dari kanal, pipa pralon dipasang di ketinggian tertentu. Air yang terlalu tinggi akan disalurkan ke sungai melalui pipa tersebut. Metode ini cukup efektif mencegah kebakaran hutan. Tercatat sejak adanya sekat kanal, potensi kebakaran hutan sepanjang 2017 berhasil ditekan. Presiden Joko Widodo pun menginstruksikan pembangunan sekat kanal besar-besaran. (Penulis adalah mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Pontianak/Peserta Magang Reporter teraju.id)