Oleh: Ambaryani
Ini kali kedua saya berkesempatan mengikuti tradisi robo’-robo’ warga Kubu. Jika dulu saya datang, duduk ikut nimbrung dan makan, kali ini saya terlibat langsung di dalamnya. Bahasa kami, jadi tim sebok. Dari awal dimulai acara, hingga selesai warga dan tamu undangan pulang.
Menjelang jam 9 pagi warga mulai berdatangan menuju masjid besar Khairussa’adah Kubu membawa buntelan. Ada juga yang membawa rantang, yang berisi nasi, sayur, lauk plus sambal. Ada sayur terong, daun ubi, buncis kol, cambah, kacang, cipir, sambal ikan, udang, telur balado, semur ayam, sambal kepah, kepiting, sambal teri, cencalok, hingga rendang daging. Tak ada makanan yang dikhususkan atau diharuskan. Variasi makanan yang dibawa, sesuai dengan kemampuan masing-masing warga.
Ada juga yang membawa perlengkapan pecah belah dapur, sendok, mangkok, piring, baskom untuk menyajikan makanan. Makanan yang dibawa disajikan dalam mangkok-mangkok lebih kecil agar semua warga yang datang dapat bagian merata.
Setelah warga berkumpul dan makanan telah tersaji, acara dimulai dengan beberapa sambutan pejabat yang hadir. Wakil Bupati Kubu Raya, Camat Kubu, Kapolsek Kubu serta tokoh masyarakat setempat. Kemudian acara dilanjutkan dengan baca doa tolak bala. Yang kemudian warga makan bersama.
Tradisi robo’-robo’ yang diselenggarakan warga Kubu dijadikan ajang pelestarian budaya, silaturahim dan doa bersama. Makanan yang dibawa dari rumah masing-masing adalah bentuk sedekah untuk menolak bala.
Tak ada tradisi buang-buang makanan di sungai. Makanan yang dibawa, dimakan bersama setelah acara baca doa selesai.
Banyak makna yang bisa dipetik. Warga membaur dan membawa makanan yang diniatkan untuk sedekah. Sedekah yang diniatkan untuk menolak bala.
Tradisi sedekah harus selalu dijaga. Tidak hanya di bulan Syafar. Jika tradisi sedekah sudah mendarah daging, dan terus dijaga, dengan sendirinya bala akan tertolak. Semoga, amin.