Oleh: Ambaryani
Saya ingat-ingat sudah 8 tahun lalu saya naik feri penyeberangan Kota-Siantan. Saat masih jadi mahasiswi. Tepatnya setelah ngetrip Pontianak-Sambas bersama teman-teman di Lembaga Pers Mahasiswa STAIN Pontianak. Itupun Ninda yang punya inisiatif.
Ya, saat itu saya berboncengan dengan Ninda. Dia yang punya ide naik penyeberangan. Kata Ninda, sore, tol pasti macet. Lebih baik nyeberang. Saya sendiri, sering dengar soal penyeberangan ini. Tapi, posisi persisnya saya tak tahu. Bersyukur dulu Ninda ajak lewat penyeberangan. Biar tak sepok kata orang Pontianak.
Hari itu 24 Desember 2017 saya harus menghadiri resepsi pernikahan di Batu Layang. Suami memilih lewat feri. Saya setuju, hari Minggu macet harus lewat 2 tol.
Sekarang tarif penyeberangannya sudah Rp. 6.000 untuk sepeda motor ganda/berboncengan, sendiri Rp. 5.000.
Kedua anak saya begitu antusias. Ini pertama kali mereka naik feri.
“Yah, kita naik kapalkah?” tanya si Abang.
“Iya…Abang suka?” Ayahnya balik bertanya.
“Saya suka, saya suka”, jawab Abang.
“Sonoknye…naik kapal”, si Adek yang duduk di belakang kemudian bersuara sambil kepalanya dijulurkan ke depan. Mencari-cari kapal yang Abangnya maksud.
Sore itu, antrian cukup panjang. 2 jalur, dan hampir menyentuh jalan utama. Beberapa orang putar balik, mengurungkan niat melihat antrian yang panjang.
Kondisi penyeberang tidak jauh berubah. Hanya saja sekarang sedang dalam tahap pembangunan di kanan dan kirinya. Ada tulisan “Hati-hati, ada proyek pembangunan jembatan”.
Sambil menunggu antrian saya perhatikan pembangunan jembatannya. Lama saya berpikir, ini jembatan kemana arahnya? Apa iya jembatan untuk naik ke kapal feri? Atau jembatan ke mana? Pertanyaan itu belum dapat jawaban. Entahlah kemana arah jembatan itu. Kita tunggu saja nanti kalau sudah jadi.
Kami akhirnya dapat giliran menyeberang. Abang dan Adik terlihat kepo. Entah apa yang ditanya dan dikomentari. Buanyak sekali.
Tidak lama sudah sampai di Siantan. (*)