Oleh: Ambaryani
Sabtu pagi, saya beserta rombongan keluarga besar Mas Yanto dan Mbok Lena berangkat dari Pontianak menuju Selakau Tua. Ada juga 1 rombongan lagi yang strat dari Riam Panjang Kapuas Hulu sejak Jumat ba’da Asar. Mengiring pengantin laki-laki.
Tujuan kami desa Teluk Sagu’, Selakau Tua. Selakau Tua, posisinya di tengah-tengah antara Singkawang dan Pemangkat. Dari arah Singkawang, belokan sebelah kanan setelah jembatan Selakau. Jalan masuknya di sebelum Bank BRI dan di seberang pos polisi Selakau.
Setelah belokan, jalannya bagus, mulus. Kanan kiri jalan pemukiman warga, ada juga sawah-sawah yang padinya sudah dipanen. Sungai membentang takjauh dari belakang rumah warga, yang berada di sebelah kanan jalan.
Jalan yang mulus berubah setelah belokkan cabang di dalam. Aspalnya pecah sana-sini. Lobangnya besar dan lumayan dalam. Kata Bibik Kami yang dari Riam Panjang, jalannya licak. Licak, becek. Hari itu memang habis hujan.
“Na pernah aku sampai ke jalan petu’, porut beguncang kinun kitu'”, kata Iyak bibik kami menceritakan pengalamannya sampai ke Selakau Tue.
Semakin ke ujung, aspalnya semakin hilang dan lebih dominan jalan tanah kuning. Lapisannya sisa sedikit, sedangkan lubang-lubang jalan tergenang air ada di sana-sini.
Saya lihat di sawah-sawah warga di sepanjang jalan, panen padinya sudah menggunakan alat. Tak hanya alat panen padi, alat untuk membajak juga ada. Masih terparkir di sawah traktornya.
Sepertinya warga Selakau Tua, banyak yang berladang.
Begitu sampai di rumah tetangga mempelai, di dapurnya sudah penuh berkarung-karung padi hasil panen sawah ladang. Dan hajatan kali ini lebih terasa kampungnya, dengan nasi hasil panen sendiri. Hasil sawah ladang warga Selakau Tua.