Oleh: Farninda Aditya
Melalui program Kampung Riset, mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak melakukan riset di Kelurahan Sungai Sengkuang, Kabupaten Sanggau. Mahasiswa menjadi warga sementara di lingkungan Setompak, tepatnya di RT V, Sungai Sengkuang selama 6 hari, yakni dari tanggal 19-24 Agustus 2019.
Sungai Sengkuang berada di tepian Sungai Sekayam. Lokasinya sekitar 5 Km dari pusat kota. Terdapat tempat wisata di sana, yakni Batu Sampai.
Batu Sampai menarik perhatian peserta sejak kedatangan. Batu yang berada di seberang sungai Sekayam ini terlihat lebih besar dari yang lainya dan terdapat tulisan BATU SAMPAI. Walau belum sampai dasar, kemarau membuat batu-batu di pinggir sungai tersebut terlihat, pasir di tepian terlihat cokelat, dan sungai pun terlihat sempit. Lanting jauh ke bawah.
Selain Batu Sampai, Lanting di sungai Sekayam juga menarik perhatian. Hal ini mengingatkan saya dengan Lanting yang ada di Kampung Raja, Sintang. Lanting menjadi identitas masyarakat Melayu tepian sungai. Lanting dibangun dan digunakan bersama-sama. Lanting pula dapat digunakan untuk berbagai hal.
Lanting menunjukkan hubung kait antara sungai dan masyarakat. Namun, bagaimana Lanting yang ada di Kelurahan Sungai Sengkuang ini? Peserta akan menemukan jawabanya.
Tidak hanya itu, Paralon dengan ukuran cukup besar melintang di atas lingkungan Setompak. Paralon itu menjadi jalur pasir dari Sungai Sekayam untuk dimasukan ke wadah yang ada di darat. Belum diketahui berapa meter paralon tersebut, jelasnya pasir ini menjadi bagian dari usaha masyarakat Setompak.
“Untuk dijual dengan orang yang membangun rumah atau bangunan lainya”, cerita seseorang yang bertugas untuk memisahkan sampah yang terikut dengan pasir.
Setidaknya dalam pengamatan awal ini, ada 2 orang yang bekerja. Satu penjaga mesin yang ada di atas sungai, satunya penjaga di wadah pasir. Selain pasir, rumah walet juga berdiri di Setompak. Baru satu bangunan yang terlihat, dan jelas banyak sekali walet yang beterbangan di sana.
Aktifitas sore yang langka juga ditemukan disampaikan Setompak. Tak lama setelah rombongan sampai, Pak RT V, Gusti Syafarudin sudah mengatakan bahwa saat sore akan ramai orang yang lewat. Mereka akan mandi. Sungai Sekayam yang mulai mengering meninggalkan pasir cokelat di tepiannya. Inilah yang biasa di dengar “Jika sungai di Sanggau kering, pasir terlihat di sungai. Orang bisa main bola di sana”.
Sore ini, bukan hanya membawa bola. Kami juga melihat orang tua yang berboyong membawa anak mereka yang mungkin usianya sekitar 2 tahun mandi di sana. Sungai Sekayam yang dangkal menjadi tempat anak belajar berenang.
“Ada yang bercerita tadi, kalau mau pandai berenang memang harus mandi di sungai dulu”, kata seorang mahasiswa.
“Kamek sudah mempraktikannya, turun temurun, kalau mau pandai berenang makan udang mentah dari sungai itu”, mahasiswa dari Ketapang bercerita.
“Iya, kalau di tempat saya harus dicampakan di sungai” mahasiswa lain menyambung.
“Kalau di kampung aku, itu harus dipukul dengan daun yang mirip dengan serai”. Mahasiswa satunya tak kalah bercerita.
Sore belum selesai, mahasiswa duduk melingkar membicarakan apa yang mereka amati. Buku dan pulpen di tangan, ada juga yang sudah menghadap laptop. Saat malam, meja persegi dipindahkan di ruang tengah. Laptop pun mulai diletakan, mulai menulis. Hari pertama yang serius. Artikel dan Buku harus menjadi keluaran dari program ini. (*)