Oleh: Yusriadi
Mita, anggota Club Menulis menyediakan teh panas untuk seniornya, Kak Mar. Setelah teh diangsurkan, Kak Mar pun bertanya,
“Teh ape ni?”
Mita terpegun. Mungkin dia tak mengira ditanya, atau mungkin dia heran dengan pertanyaan itu, atau dia bingung mau menjawab apa.
“Ngape, Kak?”
“Itu teh apa?”
Anggota lain yang menjawab.
Mita nampak bingung. Beberapa anggota Club tertawa. Mentertawakan Mita.
Mereka tahu Kak Mar sedang ngerjain Mita. Mita memang sering diplonco. Dia buatkan teh juga diplonco.
Awalnya, Kak Mar datang saat kami sedang pertemuan rutin Selasa kemarin. Dia meletakkan biscuit yang dibawanya, di atas meja. Tepat di depan Mita.
“Ta, buka. Bagikan ke teman-teman”.
Saya memberi perintah.
Mita memang selalu sigap. Dia pun mengambil piring dan membuka sebungkus biscuit rasa kacang. Setelah itu dibagikan kepada anggota.
“Eh, cobalah ada yang berinisiatif buatkan minum untuk Kak Mar”.
“Tak ada teh, Pak. Tehnya sudah kadaluarsa. 2017,” Novie dan Herman menjawab saya.
“Di kamar saya ada”.
Mita berinisiatif mengambilnya. Setelah itu dia pun membuat teh dan menyodorkan ke Kak Mar. Lalu… munculnya cerita di atas–Mita yang ditanya, “Teh ape ni?”
Ketika Mita sedang ditertawakan, saya pun menyampuk.
“Teh panaskah? teh hijaukah?”
“Teh sosrokah?” Marsita menambah.
“O… teh celup, Kak”.
“Semua-semualah,” katanya ikut tertawa.
Mita benar. Teh yang diangsurkannya pada Kak Mar memang teh panas atau teh manis, jenis teh hijau, merk sosro, yang dicelup-celup sachetnya.
Itulah suasana di Club. Selalu ada yang ditertawakan.
Saya kira tentang teh, sebuah pelajaran bisa diambil. Satu benda bisa memiliki banyak namanya. Itulah titik tolak konsep multiple identity. Identitas banyak. (*)