Oleh: M Hermayani Putera
Maret 2011. Aku bersama Albert dan Hermas, rekan di WWF-Indonesia, berangkat bersama Syarif Usmardan, staf Pemkab Kapuas Hulu. Selain Usmardan, ada juga Bang Ismet dari GIZ FORCLIME (Forest and Climate Change Programme), program bantuan kerjasama luar negeri dari pemerintah Jerman. Tujuan kami adalah Desa Bungan Jaya dan Desa Tanjung Lokang.
Kami memenuhi undangan dari Bupati Kapuas Hulu Abang M. Nasir dan Wakil Bupati Agus Mulyana, yang baru dilantik September 2010. Mereka ingin melihat langsung kondisi masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK). Inilah dua desa paling ujung di Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. 1.143 km, menurut catatan para ahli.
Ada yang menarik dalam perjalanan ini, tentang betapa kecilnya dunia. Paling tidak bagiku dan Usmardan. Mardan, begitu nama panggilan lelaki berkacamata berambut tipis ini, adalah teman sekamarku di Asrama Mahasiswa Kalimantan Barat “Rahadi Usman I”, Jl. Bintaran Tengah 10 Yogyakarta.
Kala itu, tahun 1992, kami sekamar hampir setahun. Awal 1993 ia pindah ke tempat kos di dekat Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Jl. Kaliurang Sleman, Yogyakarta. Aku tetap di Asrama Bintaran Tengah 10, karena kampusku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tidak jauh. Di Wirobrajan. Cukup sekali naik bis kota.
Karena sama-sama aktif di organisasi mahasiswa pencinta alam (mapala) kampus masing-masing — ia di Mapala UNISI, sementara aku di Mapala UMY –, kami sering berdiskusi kondisi alam, budaya, dan masyarakat Kalimantan Barat. Dulu kami sekamar. Kini, kami seperahu.
Perahu kayu dengan kapasitas 8-10 orang berkekuatan 40 HP (horse power/tenaga kuda) siap membawa kami berangkat dari Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu. Semua tas pribadi dan logistik ditumpuk jadi satu di bagian tengah perahu. Dibungkus terpal agar tidak basah.
Maklum, kami akan melewati beberapa riam. Gulungan riak air yang cukup besar sering masuk ke dalam perahu. Boom… ada sensasi luar biasa ketika melewati riam-riam ini. Adrenalin meningkat. Apalagi jika air sungai masuk ke perahu, membasahi tubuh.
Tapi ini tak lama, karena matahari yang terik bersinar dengan cepat mengeringkan badan. Beberapa jam di dalam perahu, di alam terbuka, pakaian basah dan kering di badan. Sungguh perjalanan lapangan yang mengasyikkan. Badanku yang sudah dibalut rompi penyelamat, menyandar ke sisi kiri perahu. Mencari posisi nyaman, rebah beberapa saat. Mata sudah mulai sayup mengantuk, dibelai angin semilir.
Setelah tiga setengah jam, Hoten, pria berbadan tegap yang mengemudikan perahu kami, menepikan perahu ke karangan, tepian sungai yang berpasir dan berbatu. Hoten sudah belasan tahun terlatih mengemudikan perahu dan sangat memahami karakter sungai di Kapuas Hulu.
Ia tahu di mana tempat terbaik untuk beristirahat. Karangan terbentuk dari berbagai jenis batu yang terkikis oleh proses alam, menjadi bongkahan batu ukuran kecil hingga berbentuk kerikil dan pasir, dihanyutkan air dari hulu sungai. Kemudian mengendap di beberapa bagian sungai di Kalimantan yang berkelok-kelok, berbentuk meander.
Setelah menambatkan tali perahu di dahan pohon bungur yang tumbuh kokoh di tepi sungai, Hoten lalu mengeluarkan boks plastik berisikan nasi bungkus. Waktunya makan siang.
Salam Lestari, Salam Literasi,
#KMOIndonesia, #KMOBatch25, #Sarkat