Raperda masyarakat hukum adat yang sedang dibahas di DPRD Kalbar saat ini (Agustus 2016) mengundang heboh. Berbagai pendapat pro dan kontra muncul. Mengapa?
Saya mengikuti pembahasan raperda ini beberapa bulan lalu. Pembahasan itu dilakukan dalam pertemuan sebuah organisasi.
Waktu itu berbagai pendapat muncul. Lantas pada akhirnya, mengerucut pada dua hal: menerima dengan revisi atau menolak. Revisi perlu dilakukan pada beberapa hal yang diatur dalam raperda. Mulai dari masyarakat hukum adat dikoreksi menjadi masyarakat adat, hingga soal hak dan kewajiban yang disebutkan di sana.
Panjang cerita, putusan terakhir terserah pengurus. Forum hanya memberikan masukan dan pandangan. Paling tidak, jika menerima pengurus sudah memiliki dasarnya. Begitu juga jika menolak, pengurus juga tahu argumentasinya. Kemudian, saya mendengar pilihan yang diambil pengurus adalah mengharapkan DPRD Kalbar menolak raperda itu.
Argumentasi penolakan muncul karena menganggap raperda ini membentuk negara dalam negara. Otonomi darat, air dan udara (waktu itu ada) di tangan masyarakat hukum adat dinilai terlalu besar dampaknya untuk masyarakat Kalbar yang majemuk. Otonomi itu bertentangan dengan semangat negara kesatuan republik Indonesia yang menempatkan negara di atas segalanya.
Otonomi itu juga dinilai akan merugikan kelompok lain yang meskipun sudah tinggal di daerah Kalimantan Barat berpuluh-puluh tahun, bahkan ratusan tahun. Otonomi seperti ini juga akan mengeruhkan suasana Kalbar yang mulai bening.
Selain hal-hal yang dianggap prinsip tersebut, dalam liputan media (yang menyesatkan: Mereka menggunakan kata raperda masyarakat adat dan bukannya masyarakat hukum adat) saya mendapatkan informasi bahwa penolakan juga muncul karena ada faktor ideologi dan politik di balik raperda itu.
Beberapa hari lalu, lagi-lagi saya diajak juga untuk membicarakan raperda itu, oleh lembaga yang berbeda dan dalam suasana yang berbeda. Kali ini, pro dan kontra juga muncul. Tetapi, beda dengan suasana sebelumnya, dalam forum ini sejumlah argumentasi yang muncul diberi alas informasi hukum, fakta dan teori. Saya mendapatkan banyak hal dari forum itu. Karena heboh raperda ini sudah menyeruak di ruang publik dalam waktu cukup lama, orang-orang yang hadir di forum itu memiliki waktu untuk mengkritisi raperda tersebut.
Kesimpulannya, pada raperda itu ada baiknya, atau ada manfaatnya jika kelak disetujui. Partisipasi masyarakat akan lebih besar. Perhatian terhadap mereka juga akan lebih banyak dibandingkan sekarang. Tetapi, raperda itu juga banyak kelemahannya. Selain soal otonomi khusus yang sudah dibahas dalam banyak kesempatan, raperda itu juga mengandung banyak hal yang bertentangan dengan hukum yang sudah ada. Jika bagian-bagian ini diperbaiki tentu kontra perda ini akan semakin berkurang. Jika raperda digagas untuk kemaslahatan tentu perubahan dan penyempurnaan dilakukan, tanpa harus tepuk meja atau tarik suara.
Putusan terakhir memang ada tangan di DPRD Kalbar. Merekalah yang memiliki hak untuk membuat keputusan itu. Kita hanya dapat melihat nanti apakah kekurangan itu diperbaiki atau apakah raperda ini disetujui begitu saja.