in

Indonesia Bangkit: Belajar Bagaimana Hidup Bersama dengan yang Lain

leo

Oleh: Dr Leo Sutrisno

Pada setiap bulan Mei, ada dua peristiwa penting yang diperingati secara resmi kenegaraan oleh bangsa Indonesia, yaitu Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) dan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei). Bulan Mei 2020, bagi Indonesia juga menjadi ‘istimewa’ karena upacara peringatan kedua peristiwa itu dilaksanakan sacara virtual di dunia maya. Semua hanya mengandalkan yang tertayang pada layar kaca. Walau demikian semua berlangsung kidmat dan lancar. Semua bergerak dan bertindak atas dasar kepercayaan satu dengan yang lain.

Ada baiknya kita membuka catatan Unesco tahun 1996. Pada saat itu, Unesco menerbitkan laporan (prediksi) tentang pendidikan di abad ke-21 (Jacques Delors dkk, 1996, Learning: The Treasure Within). Dikatakan dalam laporan itu, di abad ke-21 semua orang harus melaksanakan belajar sepanjang hayat. Mengapa? Karena, akan terjadi perubahan yang serba cepat. Agar selamat melewati perubahan itu, semua orang mesti menerapkan sikap ‘tetap belajar kapan pun, dimana pun’.

Apa yang dipelajari? Dalam laporan itu disebutkan ‘empat pilar pendidikan di abad ke-21 yang harus dipelajari’. Pilar pertama adalah ‘learning to know’-belajar cara mengetahui sesuatu. Karena akibat perkembangan teknologi kominikasi dan perkembangan teknologi informasi yang luar biasa, maka hampir di setiap menit kita berhadapan dengan suatu perubahan. Maka, pertanyaan yang muncul pertama kali adalah ‘apa itu?’ dan ‘mengapa begitu?’, ‘bagaimana cara mendapatkan informasinya’, dsb.

Dalam konteks Covid-19, pertanyaan berbentuk: Apa Covid-19?, mengapa ada Covid-19?, apa dampaknya kepada kehidupan kita?.

Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah ‘bagaimana cara menggunakannya?’ Dengan pertanyaan ini kita masuk pada pilar ke dua “Learning to do”-belajar cara mempergunakannya.

Dalam konteks Covid-19, pertanyaan dapat dimodifikasi menjadi: apa yang harus kita lakukan? bagaimana cara mengobatinya? bagaimana cara menghindarinya? dst.

Pertanyaan ketiga lebih tertuju kepada diri sendiri, ‘learning to be’. Pertanyaan ini merujuk pada posisi preferensi kita masing-masing. Kita sudah tahu itu apa, kita sudah tahu cara memperlakukannya, nah pertanyaan lanjutannya adalah ‘saya harus bersikap seperti apa?

Dalam konteks Covid-19, ketika kita sudah tahu bahwa Covid-19 adalah suatu penyakit yang menular karena virus corona terbaru (2019) yang sangat cepat menyebar dan banyak membawa korban. Kita juga tahu bahwa sampai saat ini dunia masih berjuang menemukan vaksinnya, karena itu, saya harus bersikap seperti apa? Pertanyaan ini termasuk pada pilar “Learning to be”-belajar tentang kita akan menjadi seperti apa.

Ada banyak pilihan tergantung posisi kita sebelumnya. Pilihan para dokter atau tenaga medis tentu berbeda dengan pilihan kelomok yang lain. Tetapi semua pilihan-pilihan itu akan meletakkan diri kita masing-masing pada posisi tertentu. Termasuk posisi acuh tak acuh atau masa bodoh.

Nah, agar kita tidak terjerumus pada posisi acuh tak acuh atau masa bodoh, Komisi Pendidikan Unesco yang dipimpin Jacues Delors itu memasukkan satu pilar lagi yaitu ‘Learning to live together (with others in peace). Kita mesti sampai pada tindak belajar hidup bersama (dengan liyan secara damai).

Mengapa ‘learning to live together’-belajar tentang hidup bersama- dimasukkan sebagai salah satu pilar pendidikan di abad ke-21? Komisi menyebutkan bahwa di abad ke-21 akan muncul semakin banyak konflik. Mengapa? Karena, dunia sudah berproses menjadi satu, menuju ke sebuah desa dunia The world is Flat, Friedman, 2005). Batas negara, batas budaya, dll akan terkikis. Pertemuan antar bangsa, antar etnis, antar kepercayaan, antar kebudayaan dsb akan diawali dalam sebuah ketegangan, konflik. Agar konflik itu dapat dikelola dengan baik, maka dalam diri para peserta konflik harus tumbuh sikap dan tindakan untuk mewujudkan hidup bersama dengan damai-to live together in peace.

Selain fenomena konflik yang menjurus pada kekerasan, learning to live together in peace, juga didasari secara filosofis dan teologis oleh para pemuka agama di seluruh dunia. Mereka menganjurkan hidup damai dengan yang lain di Bumi ini.

Jika kita semua bersedia belajar hidup bersama dengan yang lain dalam damai, maka sikap masa bodoh, acuh tak acuh, dst dapat diperkecil intensitasnya. Dalam konteks Covid-19, agar para petugas penanggulangan Covid-19 dapat fokus pada pencegahan, penularan, dan pengobatan pasien, kita semua mesti mengikuti aturan main yang telah dibuat bersama. Dengan cara itu maka Satpol PP, Polisi, TNI, tidak perlu lagi mencegati dan mengejar-kejar kita. Mereka cukup menjaga (keamanan) rumah-rumah sakit atau pusat kesehatan yang lainnya.

Terkait dengan Hari Pendidikan Nasional, mesti diingatkan bahwa definisi belajar yang berlaku abad ke-21 ini tidak lagi hanya mempelajari materi sekolah. Belajar di abad ke-21 adalah belajar kehidupan. Karena itu, setiap orang wajib belajar sepanjang hidupnya. Apa yang dipelajari? Kita semua harus belajar cara mengetahui sesuatu (learning to know), cara mempergunakannya (learning to do), apa sikap kita terhadap sesuatu itu (learning to be), dan apa tindakan kita agar tetap dapat hidup bersama dengan damai (learning to live together).

Terkait dengan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei), kita semua, rakyat dan penguasa, mesti bersama-sama bangkit untuk menyadari kembali bahwa hidup bersama dalam damai menjadi syarat hidup bernegara dan berbangsa. ‘Learning to live together with others in peace’ mesti menjadi sikap dan perilaku orang Indonesia.

Semoga!
Pakem Tegal 22 Mei 2020

Written by teraju.id

WhatsApp Image 2020 05 20 at 16.12.32

#IndonesiaTerserah : Ungkapan Lelah yang tak Kunjung Digubris

WhatsApp Image 2020 05 23 at 12.42.29

Kemeriahan Lebaran itu ada di Sini