Menakar Kinerja Pemerintah Daerah, Efektif atau Muspro

4 Min Read


Oleh: Heta Agus Pramita

Pengelolaan keuangan negara oleh Pemerintah Daerah (Pemda) memerlukan akuntabilitas. Akuntabilitas melahirkan kewajiban yang menghasilkan pertanggunggjawaban yang harus diketahui oleh sang pemberi amanat yaitu rakyat. Salah satu kewajiban pemerintah baik yang di pusat maupun daerah adalah membuat Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (LAKIP). Laporan LAKIP memuat perbandingan yang menunjukkan capaian rencana awal dengan apa yang dihasilkan secara aktual atau antara target dengan realisasi.

LAKIP membantu instansi pemerintah untuk menunjukkan kinerjanya dalam skala kuantitatif (jumlah atau persentase). Karena itu, selayaknya LAKIP yang diterbitkan Pemda selayaknya dipublikasikan sebagai bentuk transparansi baik yang targetnya tercapai ataupun tidak. Kinerja sendiri merupakan refleksi dan cerminan atas hasil kerja nyata yang telah dilakukan dan diberikan Pemda bagi rakyatnya.

Penganggaran dalam APBN maupun APBD merupakan tools untuk mencapai tujuan mensejahterakan rakyat. Penganggaran oleh Pemda selayaknya tidak lagi pada ukuran spending more namun lebih diarahkan pada spending better. Begitu juga pada belanja, baik pemerintah Pusat maupun Daerah diarahkan pada belanja yang produktif bukan belanja yang konsumtif. Sehingga yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana pemda mampu berinovasi dalam mengalokasikan anggaran dan belanja yang ‘spending more produktif’.

Karena itu laporan keuangan menjadi penting sebagai bahan evaluasi untuk menilai kinerja. Demikian juga dengan LAKIP. Keduanya sama penting, tergantung dari kacamata mana kita melihatnya, apakah kacamata regulator, ataukah kacamata Pemda. Masih banyak Pemda yang menganggap bahwa laporan keuangan adalah puncak dari pertanggung jawaban kepada pemerintah, terutama opini WTP atas laporan keuangan. Padahal opini WTP merupakan kewajiban bagi seluruh Pemda yang menerima dan mengelola uang negara. Dimana setiap sen uang negara harus dipertanggungjawabkan dengan baik dan benar. Apabila dianalogikan sebagai seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, WTP merupakan nilai yang harus terpenuhi apabila ingin lulus atau nilai C bagi mahasiswa karena itu merupakan syarat mutlak.

Lalu apakah dengan WTP lantas kinerja Pemda sudah memuaskan? Secara umum ya, sebab dengan memperoleh predikat WTP berarti Pemda telah mampu memenuhi amanat undang-undang dalam mengelola dan mempertanggunjawabkan uang negara. Tahapan yang tak kalah penting lainnya adalah bagaimana Pemda dapat mengelola anggarannya menjadi sesuatu yang mampu memberi manfaat besar bagi rakyat secara efektif dan efisien.

Resources yang terbatas pada Pemda bisa digunakan untuk mencapai tujuan apabila kriteria yang diinginkan terukur. Hal ini merupakan prinsip pengelolaan keuangan negara money follow functions/money follow program yang lebih menekankan pada hasil yang akan dicapai. Jangan sampai setiap uang rakyat yang dikelola negara menjadi muspro atau sia-sia belaka karena lemahnya perencanaan.

Kendala yang dihadapi banyak Pemda dalam mengukur kinerja yaitu kesulitan dalam menentukan dan menilai indikator pengukuran. Tidak adanya ukuran tentang kriteria mana yang terbaik menjadikan sulit bagi tiap-tiap Pemda untuk mengejar makna efektif itu sendiri.

Penelitian Akbar et al. (2018) yang mengeksplorasi implementasi sistem pengukuran kinerja di Indonesia dari sudut pandang isomorfisme institusional menemukan bahwa satuan kerja Pemda cenderung lebih memprioritaskan penyelesaian laporan kinerja daripada pencapaian program yang dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan dari pimpinan lembaga, baik pada unit pemerintah daerah maupun pemerintah Pusat (isomorfisme koersif). Fenomena ini menyebabkan unit-unit Pemda menerapkan sistem pengukuran kinerja secara kaku, sebatas tunduk pada regulasi tanpa diresapi sebagai suatu kewajiban yang hendaknya diterapkan sehari-hari.

Adanya tekanan tersebut salah satunya akibat ketergantungan Pemda pada sumber daya keuangan dan berbagai pengakuan dari pemerintah Pusat. Lebih dari 80 persen sumber pendapatan utama Pemda di Indonesia berasal dari dana transfer APBN. Sehingga tak mengherankan apabila regulasi yang dikeluarkan pemerintah Pusat sebagai panduan bagi Pemda malah memberi tekanan koersif, yang mengakibatkan belum maksimalnya kinerja dan efektivitas pemerintah daerah.(Penulis: Mahasiswa Pascasarjana UGM Yogyakarta)


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
Share This Article