Oleh: Leo Sutrisno
Dalam Upacara Peringatan hari Guru 25-11-2019, melalui rekaman video, Menteri Nadiem mengatakan pekerjaan guru adalah tugas termulia tetapi juga tersulit. Termulia karena menyiapkan masa depan bangsa. Tersulit karena dikukung dalam banyak aturan.
Karena itu, mulai hari ini, Menteri Nadiem memberikan ruang kemerdekaan yang seluas-luasnya kepada para guru dalam melaksanakan tugasnya. Disarankan, mulai besok dan seterusnya, agar setiap guru melakukan suatu perubahan sekecil apa pun. ‘Walau pun kecil, kalau dilakukan serempak maka perubahan itu akan berdampak besar’, katanya..
Menteri juga secara spesifik menunjukkan lima hal yang dapat dilakukan untuk membuat perubahan itu:
- Ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengar
- Berikan kesempatan murid untuk mengajar di kelas
- Cetuskan bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas
- Temukan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri
- Tawarkan kepada guru yang mengalami kesulitan.
Disebutkan juga, mulai saja tanpa menunggu perintah. Pernyataan ini merupakan isyarat bahwa Menteri Nadiem tidak akan menerbitkan pentunjuk apa pun seperti yang biasa dilakukan di masa sebelumnya. Jika ini terjadi maka guru harus berpikir “out of the box”. Artinya, para guru ‘harus’ meninggalkan cara berpikir dan cara bekerja lama yang selalu menunggu ‘JUKLIS’ dan “JUKLAK”.
Suatu ilustrasi yang viral di media massa dari berpikir dan bertindak ‘out of the box’ adalah kisah seorang anak perempuan seorang petani yang terjerat hutang. Si petani itu tidak mampu mengembalikan hutangnya. Ada tawaran dari si renternir. Hutang akan dianggap lunas jika anaknya boleh diperisteri.
Pilihan yang berat bagi petani. Tetapi, anaknya tidak gentar. Ia menyarankan kepada si renternir agar memberikannya pilihan. Si renternir memberi pilihan dengan cara perempuan itu harus mengambil sebuah barang yang ada di dalam sebuah kotak. Aturannya, di dalam kotak ada dua benda, satu berwarna hitam dan yang lain berwarna putih. Jika benda yang diambil berwarna hitam hutang dibebaskan tetapi ia harus jadi istrinya. Sebaliknya, jika benda yang diambil putih hutang dibebaskan dan ia juga bebas.
Sambil memilih benda yang ada di dalam kotak, perempuan itu berpikir bahwa tidak mungkin si renternir akan membebaskan dirinya. Tentu ini suatu jebakan.
Ia mengambil salah satu. Sebelum genggaman dibuka, ia bertanya apakah si renternir berani menebak warna benda yang digenggamnya. Kalau betul tebakannya ia bersedia diperistri. Dalam pikiran perempuan itu, jika berani menyebutkan warnanya (hitam) pasti si renternir curang. Demikian juga, jika si renternir tidak berani menyebutkan, pasti juga curang. Nah, akhirnya bebaslah si perempuan tersebut, karena si renternir sungguh curang. Kedua benda berwarna hitam.
Mendapatkan cara berpikir dan bertindak seperti ini tentu tidak gampang bagi mereka yang selalu hidup dengan JUKLIS dan JUKLAK. Karena itu, para guru mesti dibebaskan dari kebiasaan ini lebih dahulu.
Caranya? Menteri Nadiem mesti men-inplantasi ‘Five discovery skills’ (Jeff Deyer dkk, 2011) yang dimiliki para pembawa Innovator’s DNA, seperti yang dimiliki Menteri Nadiem sendiri. Kelima ketrampilan itu adalah: quetioning, observing, networking, experimenting, dan associating. Kelima ketrampilan ini mesti ditumbuhkan pada setiap orang guru.
Karena bersifat inplantasi, maka model pelatihan seperti sebelum ini, yaitu model instruktur mesti diubah dengan diganti dengan model pemberdayaan. Semoga!
Pakem Tegal,Yogya, 25-11-2019