Oleh: Yusriadi
Kemarin, saya terbaca sebuah pesan di WAG, mengungkapkan kerisauan tentang Pemilihan Gubernur Kalbar tahun 2018 ini. Satu sisi kerisauan muncul berkaitan dengan siapa yang akan menjadi calon dan siapa yang terpilih kelak. Kerisauan soal peta pertarungan, simulasi sana sini.
Pada sisi lain, kerisauan muncul berkaitan dengan kerisauan sisi pertama. Mereka ini risau karena sekejep-sekejap omong politik, sekejap-sekejap pilgub. Macam tidak ada tema lain yang lebih menarik. Bosan!
Kalau saya?
Entahlah. Saya, bicara politik, ok. Tema lain, juga ok. Rasa ingin tahu ada, tapi, juga alhamdulillah, masih sadar batas-batasnya.
Ada batas kuasa partai politik, ada batas pengamat, ada juga batas penonton. Saya berasa di ring ini.
Penonton pun ada batasnya: ada fans yang fanatik, ada yang menjadi suporter pihak lain, ada juga yang biasa saja yang hanya menikmati permainan, yang bersorak bila ada yang seru. Yang tetap tertawa bila ada yang lucu.
Kiranya, mereka yang merisaukan situasi politik sekarang, mungkin mereka politisi, mungkin juga pengamat, mungkin juga fans calon atau gerbong tertentu. Mungkin juga mereka penuh obsesi, mimpi dan … entah apa lagi. Bagi mereka, pilgub, urusan siapa pun, berkaitan dengan urusan dan kepentingan mereka. Langsung tidak langsung.
Panggung politik adalah panggung mereka, dan mereka bagian (atau merasa bagian) daripadanya. Perhelatan itu tanggung jawab mereka langsung atau tidak langsung.
Bahkan, pada sebagian mereka mengganggap pertarungan calon adalah pertarungan mereka. Kemenangan calon kemenangan mereka. Pesta calon adalah pesta mereka. Sebaliknya, kekalahan calon adalah kekalahan mereka.
Kehampaan calon pun berarti kehampaan mereka. Bagian kehidupan mereka selanjutnya, seperti seakan-akan ditentukan di sini.
Tapi, coba lihat pandangan mereka yang risaukan obrolah pilgub. Mereka menganggap pilgub urusan politisi. Mereka melihat pesta dari jauh.
Kemenangan calon bukan kemenangan mereka. Kekalahan pun juga bukan kekalahan mereka.
“Tak ngaru pun”.
“Paling… sekarang yang ribut, kalau sudah duduk, lupa”.
Pandangan ini mengingatkan saya pengalaman dulu.
Dahulu, ketika saya sering ke pedalaman, saya kerap mendengar pandangan ini. Warga tidak antusias mendengar obrolan politik. Mereka malah menganggap politisi sebagai penebar janji kosong. Banyak bulaknya.
Jalan ke kampung tetap rusak parah. Listrik belum ada. Sinyal begitu juga. Ekonomi susah –karet murah dan harga barang naik, sekolah jauh, mau jadi pegawai tak berani bermimpi. Bagi mereka, siapa pun yang memimpin tak akan kenal pada mereka. Tak pun jejak ke kampung mereka.
Begitulah… dahulu.
Entahlah, sekarang.
Entah juga yang akan datang.
Kalau saya, ya… sah-sah saja. (*)