Teraju.id. Batulicin-Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyatakan kecewa terhadap keputusan Pengadilan Negeri Batulicin, Kalimantan Selatan yang memvonis bersalah Trisno Susilo dengan hukuman empat tahun penjara, Rabu (26/04). Trisno adalah warga masyarakat adat Dayak Meratus, Kalimantan Selatan yang dikriminalisasi karena mempertahankan wilayah adatnya.
“Hari ini sekali lagi keadilan tidak lulus di ruang pengadilan. Kini bertrambah satu lagi korban kriminalisasi negara terhadap Masyarakat Adat. Ini menunjukkan kalau hukum di negara ini belum berjiwa keadilan terhadap Masyarakat Adat,” sesal Rukka.
Trisno ditangkap Kepolisian Resort Tanah Bumbu dan menyandang status tersangka sejak November 2011. Dia didakwa bersalah melanggar UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Tim pendamping hukum Trisno telah memasukkan permintaan naik banding. “Putusan ini ‘menyesatkan’ dan hanya akan melegalkan terus perampasan wilayah adat atas nama hukum,” jelas Fatiatulo Lazira, pendamping hukum Trisno.
Fatiatulo juga menilai pertimbangan majelis hakim dalam persidangan sangat kontradiktif. “Yang dipakai hakim itu pasal yang sudah dicabut. Hakim juga mengabaikan pembelaan terdakwa, keterangan saksi-saksi yang meringankan dan ahli,” tambahnya. Karena itu, tim pendamping hukum Trisno juga berencana meminta kepada Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial Republik Indonesia untuk memerika majelis hakim yang menyidangkan perkara ini.
Ini bukan kali pertama pengadilan di Indonesia memutuskan perkara pengadilan menggunakan UU No 14 tahun 1999, meski peraturan tersebut sudah dicabut dengan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang disahkan dan diundangkan sejak 6 Agustus 2013.
Sejak Selasa (25/4), warga Dayak Meratus bersatu melakukan aksi menuntut pemerintah mengeluarkan korporasi dari wilayah adatnya. Mereka juga meminta agar Trisno dibebaskan.
“Saudara Trisno Susilo adalah korban dari absennya negara dan sesatnya penegakan hukum yang hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas untuk menindak kejahatan korporasi,” kata Miso, kordinator aksi tersebut.
Menurut dia hak-hak masyarakat adat Dayak Meratus telah lama dilanggar oleh perusahaan dan pemerintah. Ini terkait dengan izin yang diberikan kepada PT Kodeco Timber untuk merambah wilayah adat Dayak Meratus.
“Saya harapkan kita akan terus berjuang. Jangan menyerah. Hak adalah hak. Jangan diabaikan. Pegunungan Meratus harus dipertahankan. Masyarakat adat harus bersatu,” kata Trisno, setelah persidangan.
Sementara itu dua warga, yaitu Manasse Boekit dari Tanah Bumbu dan Arif dari Dayak Meratus kini berstatus tersangka di Kepolisian Resort Kotabaru. Sama seperti Trisno, Manasse dan Arif berjuang mempertahankan haknya sebagai Masyarakat Adat, namun dikriminalisasi oleh UU Kehutanan.
AMAN juga melaporkan di Sulawesi Selatan, empat belas warga Seko ditahan karena menyuarakan penolakannya terhadap rencana pembangunan PLTA di wilayah adat mereka. Di Toba Samosir, Sumatera Utara, Dirman Simanjuntak sedang menjalani proses persidangan karena diadukan oleh PT Toba Pulp Lestari. Dirman yang sedang berladang di wilayah adatnya sendiri dituduh melakukan perambahan hutan. (Press rilis)