in

Jejak Mayor Kwee Hoe Toan di Parit Mayor

WhatsApp Image 2020 02 23 at 19.02.20

Oleh: Syafaruddin Dg Usman

Sejak masa awal VOC, Belanda telah berhubungan dengan para penduduk Tionghoa di Hindia dengan menunjuk para opsir Tionghoa sebagai para perantara, yang dimulai dengan kapitan-kapitan Tionghoa pertama di Batavia.

Belanda juga menerapkan sistem yang sama ketika mereka tiba di Borneo Barat. Orang Eropa yang mampu berbahasa Tionghoa baru tersedia dalam birokrasi pada paruh kedua abad ke 19, sehingga komunikasi antara orang Belanda dan orang Tionghoa sebelum masa itu dilakukan dengan bantuan para juru tulis dan penerjemah Tionghoa atau para opsir Tionghoa yang bisa berbahasa Melayu.

Salah seorang di antaranya ialah Lim A Moy, seorang penerjemah untuk Sambas, yang telah melayani pemerintah selama dua puluh tahun sebelum dipensiunkan pada 1856. (Laporan Administrasi, 1856, ANRI BW 3/12)

Di Pontianak pada abad ke 19, para opsir Tionghoa ditunjuk dan bekerja sebagai perantara antara pemerintah Hindia Timur Belanda dengan minoritas Tionghoa, seperti halnya juga di daerah Jawa.

Hanya sedikit yang diketahui tentang para opsir itu sebelum 1838 (Heidhues, 2008: 178), walaupun keberadaan mereka tidak dipungkiri.

Pada tahun itu, tiga orang kapitan Tionghoa untuk Pontianak dimasukkan dalam daftar pejabat: Hong Tjin Nie (kapitan besar atau kapthai), Lim Nie Po (kapitan tommonggong atau temenggung dalam pengertian jabatan Melayu), dan Kwee Hoe Toan (kapitan salewatan atau salawatang, maknanya tidak diketahui).

Meskipun gelar mereka tidak dijelaskan, diketahui bahwa masing-masing dari mereka bertanggung jawab atas tiga komunitas besar yaitu Teochiu, Hakka dan Hokkien.

Hong Tjin Nie, sang kapthai, berasal dari komunitas yang terbesar, yaitu Teochiu. (Laporan Politik 1856, ANRI BW 1/7: Tidak ada tradisi memisahkan para petugas berdasarkan kelompok perbedaan bahasa di Jawa, di mana orang Hokkien mendominasi hingga abad ke 20).

Seorang yang tipikal sebagai opsir sukses di zaman itu adalah Kwee Hoe Toan.

Orang Tionghoa Hokkien ini, pada 1838 telah berpangkat sebagai kapitan, naik menjadi kapitan besar pada 1845 dan akhirnya dipromosikan menjadi majoor pada 1859.

Meski orang Hokkien adalah kelompok terkecil dari tiga kelompok besar di Pontianak, Kwee diangkat sebagai perwakilan dari semua kelompok, hal ini mungkin disebabkan karena ia nampak lebih cocok dengan para pejabat kolonial yang telah terbiasa dengan orang Hokkien di Jawa.

Kwee jugalah yang memberi saran-saran pada pemerintah selama melakukan perundingan dengan Thaikong.

Dia merupakan salah seorang Tionghoa terkaya di Borneo (Konferensi Orang Tionghoa di Pontianak, 1852-53. Kwee dan Kapitan Lay A Tjhok (atau A Tjhioh) adalah pengamat saat terjadi negosiasi dengan para perwakilan kongsi pada Desember 1852 dan Januari 1853) (ANRI BW 31/8—87).

Pada 1856 dia menjadi penjamin pacht candu, sebelumnya ia sendiri adalah pemegang pacht itu.

Belanda menganggapnya dapat dipercaya dan diandalkan, namun rakus. Dia merupakan orang terpelajar. Sekalipun lahir dan dibesarkan di Borneo, dia bisa membaca, menulis dan berbicara berbagai bahasa Tionghoa yang berbeda.

Overste Le Bron de Vaxela, yang memimpin perang melawan Monterado, menahan Kwee 1851 dan memenjarakannya selama dua bulan karena dia telah mengirimkan candu ke Sungai Pinyuh dan Mempawah.

Penangkapannya tidak berdasarkan hukum, sebab Kwee sebagai pachter candu, melakukannya secara sah.

Namun meski telah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah dan kehilangan banyak harta selama ditangkap, Kwee tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai majoor hingga 1862 (Heidhues, 2008: 179).

Tahun berikutnya, putra Kwee yang bernama Kwee Kom Beng, muncul dalam catatan menjadi kapitan dan berkantor sampai diberhentikan pada 1880.

Kwee muda berulang kali disebut lebih Melayu daripada Tionghoa, sesuatu yang tidak merupakan kualifikasi untuk menjadi opsir Tionghoa, dan ia dikenal sangat dekat dengan istana Pontianak (Laporan Politik 1866, ANRI BW 2/4—224).

Keluarga Kwee akhirnya mengalami kejatuhan pada masa-masa sulit.

Kwee Hoe Toan dan seorang kapitan Hakka, Then Sioe Lin, terlilit hutang pada pemerintah kolonial Belanda sebagai akibat dari keterlibatan mereka dalam pacht candu pada 1850-an, suatu dekade ketika perdagangan madat hancur lebur akibat penyelundupan dan kemerosotan dalam penambangan emas.

Nasib keluarga ini semakin terpuruk pada 1880, ketika Kwee Kom Beng diberhentikan dari jabatannya.

Situasi keuangan Lioe A Sin, sang kapthai Lanfang, juga mengalami kemunduran karena berspekulasi dalam pacht candu. (Laporan Politik 1859, ANRI BW 1/10).

Kesempatan bagi orang Tionghoa untuk meraup peruntungan besar dan mungkin pengaruh dari perdagangan candu nampaknya semakin berkurang karena monopoli tersebut mengalami kemunduran pada paruh kedua abad ke 19.

Mengenang masa keemasannya, Kwee Hoe Toan kini meninggalkan jejak silam dan dikenang keberadaannya dengan Kampung Parit Mayor tempat di mana sang mayor ini dipusarakan di sana.

(Dari berbagai referensi, penulis Syafaruddin Dg Usman, peminat sejarah kontemporer di Pontianak)

Written by teraju.id

IMG 20200219 103645 150

FKPT, Terorisme dan Budaya Lokal

WhatsApp Image 2020 02 24 at 09.04.23

Belajar Pancasila dari Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara