Oleh: Ambaryani
Saat pertama kali survey lokasi ke Kubu, saya agak heran. Hampir setiap berpapasan dengan warga mereka senyum. Seakan sudah kenal sebelumnya.
Saya lupa, kalau sedang berada di kampung. Tipologi warga yang ramah–kenal atau tidak, senyum–seakan sudah ada di tempat sendiri. Kenal dengan semua orang.
Sekali dua berjumpa dan ngobrol, keakraban sudah terjalin. Tidak susah membawa diri di Kubu. Ketemu dengan orang Jawa, ilmu kejawen yang dikeluarkan. Ketemu orang Melayu, bahasa Melayu tolen.
Saat berkunjung ke rumah Abah Mustar, saat momen robo’-robo’, saya sudah langsung mendapat jamauan. Ibu Tlaha istri beliau juga demikian. Sangat ramah.
Banyak cerita yang beliau bagi. Mulai dari robo’-robo’ tahun ini dan perbandingan dengan tahun lalu. Cerita dan petua hidup banyak yang saya dapat.
Satu lagi tanda warga Kubu ramah, baru sekali jumpa saya sudah dapat panggilan khas. Nong. Panggilan manja, panggilan tanda sudah dekat. Hal ini membuat saya haru. Serasa mendapatkan orang tua di perantauan.
Hari berikutnya, saya berkunjung ke rumah Mbah Saidah. Mbah Saidah hanya tinggal berdua dengan suaminya.
Beliau cerita saat pertama kali datang ke Kubu. Sulitnya perjuangan hidup, dari mulai berjualan sayuran keliling, bertani, hingga saat ini anak-anak beliau telah sukses mendapatkan pekerjaan yang mapan.
Di ujung perjumpaan, beliau turun memetik buah cabe, terong yang ditanamnya di halaman rumah menggunakan polibag. Banyak. Ada juga jantung pisang nipah yang tumbuh di samping rumah. Pulang, membawa kresek sayuran.
Sungguh, kenikmatan tersendiri tugas di kampung. Yang jauh jadi dekat, yang tak kenal menjadi akrab, orang lain seakan keluarga sendiri. (*)