teraju.id, Ancol – Pemaksaan kehendak bahwa pendapat dan pandangannya adalah yang paling benar seraya menyalahkan pihak lain dengan menghalalkan kekerasan menjadi fokus Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI di arena Rakernas FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme) bertempat di Ancol, 17-20/2/19.
Direktur Pencegahan, Brigjen Pol Ir Hamli, ME di hadapan FKPT 32 provinsi atau 288 peserta seluruh Indonesia khusus mengupas Strategi Meningkatkan Kinerja Pencegahan, Radikalisme dan Terorisme di Tahun Politik (2019). Menurutnya, sejak 6 tahun kelahirannya, tahun-tahun politik pernah dilewati dan berjalan aman, berikut dilahirkan kepemimpinan yang ligitimate. Kendati demikian, kesuksesan penyelenggaraan Pilpres, Pileg, Pigub, Pilwako, Pilwabup jangan membuat warga bangsa lalai. “Koordinasi dan kerjasama seluruh elemen masyarakat sangat dibutuhkan. Tak terkecuali FKPT,” prolognya.
Hamli mulai menguak peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Sebut misalnya aksi pembakaran motor dan mobil di Jawa Tengah. “Hal-hal seperti ini harus kita waspadai dapat mengganggu hajatan besar bangsa yang kita sebut tahun politik,” paparnya.
Terkait dengan tahun politik, Hamli mengungkapkan di era digital, di mana informasi mengucur deras, kondisi lokal menjadi global, dan begitu sebaliknya. Misalnya situasi politik di AS di mana kubu Hillary Clinton nyaris tak terkalahkan menurut berbagai data sigi dan analisis pakar, tetapi pada akhirnya bisa dikalahkan Donald Trump melalui propaganda bernada politik identitas. Politik identitas itu atas nama suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Menangnya Trump diadopsi berbagai bangsa. “Kita berharap, Indonesia tetap aman dan kondusif,” sambungnya.
Bahaya politik identitas ini dapat diuraikan sesuai literatur politik sebagai Propaganda Rusia. Dalam sejarah perpolitikan Rusia, kemenangan dapat diraih apabila opini publik dibentuk secara solid dengan menggelontorkan informasi sederas mungkin, walaupun isinya adalah fitnah dan bohong alias hoax. “Walaupun salah dan bohong bahkan fitnah, karena diproduksi sistematis, digunakan secara terus menerus, disalurkan melalui multichannel, maka klarifikasi sudah tak berpengaruh signifikan lagi. Propaganda Rusia ini memanfaatkan neuropsikologi publik. Ketika publik bingung, dimunculkanlah tokoh tertentu seolah-olah tokoh tersebut sebagai dewa penyelamat.”
Propaganda Rusia menjadi subur di Indonesia dalam tahun politik 2019 dilatari dengan 371 warga pengguna saluran telepon pintar dari 261 juta penduduknya. Dari 371 juta pengguna HP tersebut, 143 juta aktif berinternet.
“Kriminalisasi tokoh agama, perekonomian dan pembangunan infrastruktur, komunis, tenaga kerja asing, hutang luar negeri, serta harga bahan bahan pokok seluruhnya menjadi perbincangan luas di sosial media. Hal ini sama persis dengan propaganda Rusia,” ulas Hamli untuk membuka fenomena Indonesia sehingga FKPT bisa turut mengawasi dan mereduksi demi merawat keamanan, serta harmoni sosial.
Situasi kebangsaan Indonesia terbantu oleh dominannya penduduk yang berpandangan nasional, berikut nasionalis-relijius. “Berdasarkan riset, kelompok yang relatif keras di Indonesia berada pada kisaran 18 persen penduduk dewasa, dan di kalangan millenial 23 persen.”
Solusi merawat kebangsaan tiada lain berupa pendidikan. Melalui pendidikan, semua data yang bertebaran di sosial media bisa diendapkan melalui pikiran kritis serta logis. Apakah sesuatu yang dibaca itu masuk akal atau tidak, benar atau tidak. Jika aspek pendidikan ini dikedepankan, maka FKPT turut melakukan edukasi publik.
Hamli menunjukkan foto-foto di Suriah dengan tujuan berdirinya khilafah bernama ISIS. “Mesjid dahulunya berdiri megah dan makmur, kini tersisa puing-puing. Kita jangan sampai di-Suriah-kan. Kita perlu merawat Indonesia secara bersama-sama,” serunya. (Nuris)