Oleh: Yusriadi
Suasana Sesi 4, Dialog Borneo Kalimantan ke-13 di Pontianak, meninggalkan ketukan dahsyat pada hati. Dedy Ari Asfar dan Beni Sulastiyo, yang menjadi panelis bersama Gunta Wirawan dan Lisyawati Nurcahyani, pada kesempatan itu telah mengangkat persoalan besar yang dihadapi bersama. Sebuah perkara serius.
Persoalan serius itu adalah kepunahan bahasa. Banyak bahasa yang punah. Banyak kosa kata yang hilang. Banyak peradaban yang bakal lenyap.
Saya yang mendampingi panel ketika itu, teringat pada isu serupa yang saya bentangkan di sesi sehari sebelumnya.
Melaluimakalah berjudul “Perubahan Sosial dan Bahasa Melayu di Pedalaman Kalbar” saya tunjukkan contoh-contoh kehilangan bahasa dan kosa kata menyusul perubahan yang terjadi di tengah masyarakat pedalaman. Kosa kata yang berkaitan dengan perladangan, sepak bola dan permainan anak di sungai, secara umum tidak digunakan lagi, atau berganti dengan kosakata baru. Dedy memakai istilah perubahan ekologi.
Sebagai contoh, sekarang ini pada generasi baru tidak tahu nama-nama padi yang pernah ditanam di ladang. Tak tahu nama tumbuhan lain yang menyemak di antara padi. Tak tahu nama tanaman yang sengaja ditanam di sela-sela padi. Tak tahu budaya penyerta menanam, menjaga dan menyukuri hasil panen. Hal ini terjadi karena budaya berladang sudah ditinggalkan di beberapa tempat. Orang tidak berladang karena tidak ada lagi lahan yang digunakan untuk itu. Selain itu, orang tidak berladang karena disibukkan oleh pekerjaan lain.
Ancaman kepunahan sudah sedemikian besar dan mengerikan, bisa diatasi dengan menumbuhkan kecintaan pada bahasa dan menggiatkan dokumentasi dan penulisan dalam bahasa ibu.
Yang menarik, kedua narasumber seperti seiya kata kala mengingatkan tugas pengarang, penulis, mengenai penyelamatan bahasa ibu.
Pengarang dapat memulai penyelamatan dengan membuat karangan dalam bahasa daerah. Melalui kegiatan itu, dokumentasi bentuk bahasa bisa dilakukan dan bisa menjadi corpus data bahasa di kemudian hari.
Memang tidak mudah, tetapi, hal ini bisa dilakukan. Dedy sendiri sudah merintis hal itu. Dia, bersama penulis di Kalbar menerbitkan buku cerpen berbahasa daerah “Roming Kontrak”.
Beni sendiri sudah mencoba dengan metodenya sendiri, Metode Rois, untuk mengembangkan tradisi tulis.
Lalu, kita, apa yang dapat dilakukan dalam situasi itu? (*)