teraju.id, Poernama Valley – Menyikapi situasi sosial media yang kini terkesan saling provokasi antara oknum warga yang suka berkonflik tanpa berpikir panjang akibatnya, sosiolog Universitas Tanjungpura, Prof Dr Syarif Ibrahim Alkadir angkat pena. Guru besar Fisip ini berkomentar di laman FaceBook menyikapi berita bahwa Gubernur Kalbar mesti lebih berhati-hati jika berbicara.
“Tks kpd rekan-2 dan sahabat-2 atas kepedulian sdr-2 demi kebaikan daerah kita. Gubernur kita bukan hanya hrs berhati-hati, tp juga harus menjadi teladan perdamaian dan multikultural. Beliau bukan hanya pemimpin satu klpk, ttp juga pemimpin daerah dan nasional. Kami TIDAK rela kalau pemimpin KalBar (Cornelis) disebut dan dikenal sbg PROVOKATOR dan Penggerak massa utk kekerasan. Padahal, beliau ada jasanya bagi KalBar dan Indonesia. Tolong para tokoh masyarakat, tokoh Adat Dayak Melayu KalBar, para akademisi, yg dianggap intelektual, orang-orang tua dari klpk Dayak & Melayu, JANGAN biarkan Gubernur kita salah jalan, salah tindakan dan salah perilaku. Tolong ingatkan beliau. Kita dan kader pemimpin dua klpk itu bertanggungjawab tdk saja bagi kebaikan pemimpin dan nama baik mrk dan kita, tetapi juga bagi keamanan, ketertiban dan stabilitas sosial, ekonomi dan politik di daerah ini sbg bagian dari NKRI.”
Di tempat terpisah, sembilan tahun silam (2008) Prof Syarif juga mengaku gundah gelisah (dikutip seutuhnya dari blog Nur Iskandar, red).
Dia (Prof Syarif, red) menemukan sesuatu yang mencengangkan saat riset atas beasiswa dari Leiden, Belanda. Pakar di bidang sosiologi ini menemukan referensi di Eropa bahwa ada ledakan-ledakan konflik yang anarkis di Kalbar dengan radius 30 tahunan. Maka Syarif Ibrahim pun menelitinya dengan seksama. Dalam hipotesa Syarif Ibrahim Alkadrie yang kini tak hanya sekedar berteori-teori, tetapi turun langsung ke pedalaman-pedalaman Kalbar untuk memberikan sumbangan pemikiran demi manfaat atas sesama anak Bangsa agar terwujud kedamaian sejati di bumi pertiwi, disampaikanlah pendapat bahwa pada tahun 2020 Kalbar akan sampai pada titik kritis yang membahayakan. Titik kritis itu ibarat sumbu yang terus tersulut api sejak konflik tyerakhir tahun 2000 kemarin. Pada titik 2020 tersebut akan pecah lagi konflik etnis yang anarkis.
Saya menyampaikan hal ini sebagai sebuah hipotesis dengan kalimat kerjakalau. Kalau potensi-potensi konfliknya dibiarkan begitu saja seperti cueknya pemerintah pusat terhadap pelaksanaan otonomi daerah, ungkap Syarif Ibrahim Alkadrie dalam diskusi panel yang diselenggarakan di Hotel Gajahmada, Sabtu (14/6) kemarin. Syarif berharap sumber-sumber potensi konflik itu diatasi dengan kerja keras, sehingga hipotesa ledakan bisa dihindari. Dengan demikian 2020 menjadi sistem peringatan dini atau early warning system bagi para pengambil kebijakan untuk ancang-ancang penyelamatan.
Kerja keras itu disimbolkan dengan sosialisasi yang dilakukan Menkominfo dengan pemasangan papan reklame. Antara lain terpampang di muara jalan Purnama-Johan Idrus, bahwa etnis boleh berbedadilambangkan dengan kostum etnisserta agama boleh berbedadilambangkan dengan rumah-rumah ibadah di belakang merekatetapi dapat berangkulan tangan dengan mesra. Bekerjasama secara berdampingan di dalam kehidupan sosial. Kerja-kerja lapangan secara keras dan cerdas itu pula yang dilakukan ANPRI atau Aliansi untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi yang dikoordinatori oleh Edi Patebang. Lembaga ini secara konsisten dalam dua tahun berjalan melakukan aneka kegiatan yang membumi.
ANPRI melakukan penguatan kritis masyarakat, pengembangan credit union rekonsiliasi lantaran hampir semua faktor konflik berakar kemiskinan sehingga efektif jika ditempuh via kredit kerakyatan. ANPRI juga melakukan pengajaran muatan lokal pendidikan multikultur untuk pelajar, promosi dan kampanye budaya damai serta peningkatan kapasitas aktivis ornop dan ornop perdamaian serta rekonsiliasi.
ANPRI secara cerdas menggambarkannya sebagai keberagaman dalam sebuah kapal yang berlayar. Genggam erat kebersamaan untuk menuju Kalbar sejahtera. (Nuris)