Oleh: Khatijah
Jalan-jalan adalah salah satu penawar stres, sumpek, bahkan bisa menjadi penghilang beban pikiran. Nah kali ini saya ingin berbagi pengalaman perjalanan saya menuju nikmat Tuhan yang tersembunyi di Kecamatan Seluas Kabupaten Bengkayang. Hmm nama desa saya juga sedikit bingung karena ada yang bilang Desa Sahan, Dusun Rambai, Dusun Mensibu.
Permasalahannya, saya masih gak peka karena kurang bertanya tentang kepastian desanya.
Pukul setengah 14 kami berangkat ke lokasi dari Desa Sentangau Jaya, anggota kami ada 13 orang yaitu Arwanto, Elisiani, Iin Annissa, Jaka, Nugrahanto, Ngatimin, Wira, Muhsin, Ripli, Purwantie, Muamaliyah, Fitri, dan saya sendiri Khatijah. Saya kira di antara kami ada salah satunya yang tahu jalan menuju Riam Kuweg tersebut, ternyata nihil yaah pastinya menggunakan kata mutiara lama, “Rajin bertanya, maka gak akan sesat di jalan”. Persoalannya di jalan banyak warga setempat yang kurang tahu arah tersebut. Bahkan ada beberapa warga yang mengakui mereka baru mendengar air terjun Kuweg.
Alhasil di Desa Nibung kami bertemu Pak Kodimus, beliau menyarankan untuk bertemu dengan Pak RT. Sampai di rumah ketua RT 1 Desa Nibung, kami mengambil buah rambutan, tentu saja punya Pak RT dan udah dipersilahkan untuk mengambilnya.
Pak Rt sibuk menyambut kami, hingga menghidangkan air mineral gelas satu kotak, “Gak usah repot-repot, Pak,” ujarku.
“Gak apa-apa, biasa,” jawabnya.
Tidak ingin mengulang kebodohan sama seperti sebelumnya, aku mengenalkan diri kepada Pak RT. Beliau akrab dipanggil Bujang.
Di rumah Pak Bujang kami disuruh menulis nama-nama yang akan berangkat ke Kuweg. Katanya di sana hutannya masih asri belum banyak dijamah manusia, jadi yaah waspada gitu biar pulang nanti gak berkurang dan gak nambah orang. Hehe.
Tak lama Pak RT menelpon Pak Nyawib yang akan bertugas mengantar kami ke lokasi, hmm nama pramuwisata / tour guide kami ini saya juga agak ragu karena kata teman-teman namanya ada DO-nya, sedangkan nama Nyawib itu saya dapat dari Pak Kodimus, bodohnya lagi saya gak bertanya langsung kepada yang si empunya nama.
Dari desa Nibung ke lokasi mungkin sekitar 45 menit, jalannya setengah aspal dan setengahnya lagi masih tanah.
Alhamdulillah kami berangkatnya musim kemarau jadi kering cuman agak berdebu. Di kiri dan kanan kulihat gunung banyak pohon jagung dan sahang. Wkwk, rumah warga gak terlalu rapat, bahkan Sekolah Dasar juga sudah ada kalo gak salah SD 19 Rambai, nah mungkin desanya Desa Rambai kali yah … buktinya SD nya SD Rambai. Ok fix Desa Rambai, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang.
Saya sangat menikmati perjalanan tersebut, hingga tak sadar kami sudah mulai petualangan, belok ke jalan sebelah kanan, jalannya sangat kecil, tapi masih bisa menggunakan motor mungkin sekitar 1 jam-an, naik turun gunung bukit. Sekitar 200 meter tiba-tiba motor yang saya tumpangi gak bisa nyala, kata mereka sih injeksi, terpaksa motor ditinggal di sana. Kata Pak Nyawib, aman, sampai di sebuah pondok milik Pak Bangge tempat penitipan motor.
Sekarang pertualangan kedua bermulai yaitu jalan kaki selama 4 jam kata Pak Rt. Tapi kata Pak Nyawib, “Gak sampai 4 jam. Dekat kok,” ujarnya.
Kami bersemangat mendengar kata dekat. Sebelum perjalanan dimulai kami berdoa menurut kepercayaan dan agamanya masing-masing.
Ini pertama kali saya berjalan naik turun gunung bukit dengan waktu yang lama, ngos-ngosan sudah pasti, kaki sih belum terasa pegal. Tapi di tengah-tengah hutan rasanya ada yang berjalan di bagian perut saya ke atas rasa geli-geli gimana gitu ternyata seekor ulat mirip lintah yang mereka sebut pacet.
Pacet adalah hewan penghisap darah nama ilmiahnya Hirudinea, anggota hewan yang tak bertulang belakang termasuk dalam Filum Annelida. Bahkan hewan ini dijadikan terapi medis oleh Eropa. Kok saya tahu? wkwk tentu saja Wikipedia, nah untuk manfaatnya banyak kok jadi gak usah takut kalo digigit vampire jenis ini. Saya cari di https://manfaat.co.id katanya ada 7 manfaat digigit Pacet yaitu menyembuhkan pengumpalan darah, mencegah darah kering, menghilangkan racun, darah kotor berkurang, sirkulasi darah menjadi lancar, membuat tubuh menjadi ringan, dan mengobati sakit radang.
Tak hanya saya, semua anggota juga turut menyumbangkan darah ke para Pacet, ada yang digigit bagian kaki, paha, bahkan ada yang hampir ke selangkangan… iii ngeriii… tapi aman kok, toh Pacetnya tahu diri kenyang ia berhenti dan lepas begitu saja.
Hampir terbiasa dengan Pacet, ada suara air terjun yang tidak terlalu bergemuruh sih, pikir saya kami sebentar lagi tiba, ternyata tidak, di sana memang ada air terjun namanya Jembatan Batu cukuplah untuk menambah air di dalam botol kami.
Di perjalanan saya gak mau menyia-nyiakan tour guide kami, jadi meskipun harus berlari-lari untuk menyeimbangi langkahnya saya cukup puas mendapat sedikit pengalaman dari beliau, ia bilang pernah sesat 2 malam di hutan tersebut sendirian. Terus yang lebih menarik lagi beliau pernah mengantar peneliti dari Jepang, 2 orang, dari Jerman 7 orang dan 4 orang IPB Bogor. Mereka meneliti Angrek, Burung Enggang dan banyak lagi, itu pada tahun 2016. Oh iya ketika saya bertanya para turis itu mengunakan bahasa apa, Pak Nyawib bilang mereka mengunakan Bahasa Mandarin, dan yang lebih mengejutkan Pak Nyawibnya sendiri bisa berbahasa tersebut, hebat nih si bapak.
Hampir Magrib, saya orang pertama loh dari anggota yang sampai di tengah-tengah Riam Kuweg, dingiiiin… bisa-bisa saya terserang hipotermia. Tapi gak juga sih kan ada penghangat badan Sleeping bag hehe.
Pukul 19 cuaca semakin mendingin, tenda kami sudah berdiri, saya gak bisa jauh dari api unggun maklum gak punya daging jadi dinginnya menusuk langsung ke tulang.
Kami membakar ayam, memasak nasi, membakar sosis, juga jagung, pastinya Pacet yang masih meneror kami. Kata Pak Nyawib dulu, kalo membakar Pacet maka akan terdengar suara aneh, makhluk halus maksudnya tapi sekarang gak lagi jadi, yaa aman-aman saja ketika kami membakarnya. Semakin malam semakin dingin, tentu saja kami gak bisa tidur dengan nyaman, gak ada nyamuk sih, suara jangkrik juga gak ada, sunyi dari keramaian, yang ada hanya suara berisiknya air terjun yang sangat dekat dengan kami, ah gak kebayang gimana besok pagi segarnya bangun-bangun udah di depan air terjun. Jam 1, jam 2, jam 3 kami gak mampu lagi menahan dingin jadi dengan sigap menghidupkan kembali api unggun dan membuat air kopi.
Tak terasa hari semakin siang, waktunya kami menikmati air terjun yang bertingkat dan sangat tinggi ini, di bagian bawah mungkin sekitar 3 meter gitulah medannya untuk turun ke bawah sangat luar biasa basah seluruh tubuh sudah pasti tapi sangat terbayarkan dengan keindahanya.
Gak sampai di sini, Riam Kuweg yang bagian teristimewa ada di atas sekitar 6 sampai 7 menit-an kami berjalan ke atas siap-siap berteriak, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan”. Masya Allah, Subhanallah, Allahu Akbar. Gak tahu lagi mau gimana merincikan keindahannya, selain tinggi, indah, WOW dah.
Setelah itu kami naik lagi ke puncaknya, yaah memang gak ada air terjun tapi yang saya butuhkan adalah sinar matahari, iya sinar ultraviolet biar saya hangat kembali, meski telah terkena sinar matahari saya tetap mengigil jadi gak mampu untuk banyak-banyak mendokumentasikan diri di sana. 1, 2 cukuplah yang penting ada bukti.
Jam 10 atau jam 11 yaa, gak pasti juga kami turun gunung. Pukul 13 kami sudah sampai di pondok Pak Bangge, perjalanan selesai, terima kasih Tuhan atas kesempatan ini. Terimakasih juga teman-teman semoga dipertemukan kembali di Riam yang tak kalah luar biasa, kalian tangguh.
Pontianak, 3 Agustus 2018