Oleh: Zulyasa Gustomi*
Beberapa bulan yang lalu, Saya baru saja menyelesaikan buku pertama yang berjudul Jomblo Nomaden. Jomblo Nomaden merupakan kisah hidup Saya yang selalu mengalami perpindahan. Tujuan Saya menulis buku ini selain untuk memperkenalkan diri Saya sendiri terhadap publik, juga untuk memberikan pesan bahwa hidup akan selalu mengalami perpindahan-perpindahan yang tidak bisa kita kontrol.
Buku pertama Saya ini diterbitkan oleh penerbit STAIN Pontianak Press, dalam kegiatan Rumah Literasi yang diadakan oleh Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Pontianak. Dosen pembimbing Saya di rumah literasi adalah bapak Yusriadi. Beliau juga seorang direktur di Rumah Literasi. Saya sangat berterima kasih dengan beliau karena beliau sangat berjasa dalam kemampuan menulis Saya. Salah satu cara beliau untuk mengajarkan mahasiswa menulis adalah dengan membuat buku diary, dan itu berdampak dalam kemampuan menulis Saya.
Menulis buku ini membuat Saya harus menjadi aktor. Kenapa aktor? Karena ada bagian-bagian di mana Saya harus mengenang masa lalu dan merasakan harus emosi saat itu. Dalam sebuah penulisan, penulis harus memikirkan bagaimana caranya pembaca merasakan apa yang penulis rasakan. Nah, maka dari itu, kita tidak semabarang menulis, kita juga harus merasakan apa yang kita rasakan saat itu, lalu menulis. Hal itu bisa dikatakan bahasa kerennya “feel-nya ngena’. Dampaknya nanti, ketika kisahnya sedih, maka kemungkinan pembaca akan merasa sedih juga. Bahkan ketika menulis buku ini, Saya juga merasa sedih.
Ketika menulis buku Jomblo Nomaden ini, Saya harus berperang melawan rasa malas Saya. Akhirnya, yang awalnya Saya merasa malas, menjadi tidak malas lagi dan buku ini pun selesai.
Ada hal yang juga penting untuk Saya bahas, yaitu tentang sampul buku ini. Sampul buku ini merupakan desain ke-5 yang dibuat oleh Saya sendiri. Foto Saya yang sedang membawa sarung itu terinspirasi oleh bukunya Raditya Dika yang berjudul koala kumal. Saya rasa foto Saya itu cocok dengan judul buku Saya.
\Fakta berikutnya adalah, foto diri Saya yang ada di sampul itu hanya diambil sekali foto saja. Alasannya, Saya tidak mau ribet. Fakta terpenting dari sampul buku ini adalah tentang warnanya. Mata Saya itu sensitif terhadap warna terang, sehingga saat melihat warna terang, kepala Saya akan merasa pusing. Maka dari itu, sampul buku ini Saya buat gelap, agar Saya bisa melihatnya tanpa merasakan kepala pusing.
Buku pertama Saya ini, sangat sakral bagi Saya. Karena ini akan menjadi pembuka untuk buku-buku yang akan Saya tulis berikutnya. Semenjak buku ini rampung, Saya berencana membuat buku kedua yang juga menceritakan kisah hidup Saya, tapi dalam kemasan komedi. Saya hanya bisa berharap untuk segera selesai dan menjadi buku.\
Mungkin Cuma ini yang bisa Saya sampaikan. Jika masih ada yang bertanya tentang cara membuat buku, Saya rasa banyak sekali website-website atau video-video yang menjelaskan bagaimana cara membuat buku. Kalau menurut Saya hal terpenting ketika ingin membuat buku adalah rajin membuat diary. Dalam tulisan, memang kualitas itu penting, tetapi sebelum itu, kuantitas juga sangat penting. Terkadang banyak orang ingin membuat sebuah cerita yang bagus dan menarik, tapi jadinya malah sependek cerpen. (*Peserta Rumah Literasi FUAD).