Oleh: Saripaini
Keleleng adalah salah satu kebiasaan masyarakat Punggur pada musim berladang. Ya, keleleng adalah sebuah istilah yang digunakan masyarakat Punggur dalam bekerja sama untuk membantu dengan memberikan jasa secara bergantian. Model pelaksanaannya tak jauh berbeda dengan arisan, kalau di Sambas dan beberapa wilayah lainnya kebiasaan ini biasa disebut belale’.
Biasanya dalam satu kampung ada beberapa kelompok keleleng yang sengaja dibentuk yang terdiri dari 8-12 atau lebih per kelompok. Anggotanya bisa siapa saja, baik yang punya ladang atau pun tidak. Bagi yang tak punya ladang, hanya menjual keleleng, maksudnya apa bila kena gilirannya, ia akan menjual kepada yang memiliki ladang dengan bayaran 25.000/orang.
Selain untuk meringankan beban dalam urusan perekonomian, kebiasaan membentuk kelompok keleleng pada musim berladang, memiliki nilai-nilai yang amat baik untuk dipelajari. Salah satunya adalah makan bersama di tengah ladang. Ya, kewajiban menyediakan hidangan, sepertinya tidak hanya berlaku di dalam rumah yang sedang berlangsung kenduri, tapi orang yang kena’ keleleng (mendapat giliran untuk dibantu) lumrahnya menyediakan makanan, tapi semampunya saja, tanpa ada ketetapan yang pernah disepakati.
Pada umumnya mereka menyediakan kue-kue tradisional seperti roti kap, naga sari, doko’-doko’, terkadang juga ada biskuit dan menyediakan air kopi, air putih dan air es, sementara kalau pagi biasa menyedia lauk untuk nyarap (sarapan) bersama di tengah ladang. Sementara yang lain juga membawa bekal dari rumah.
Biasanya mereka berbagi lauk saat makan dan sengaja membawa porsi yang lebih banyak untuk dibagikan kepada yang lainnya. Sehingga lauk sejenis bisa menjadi berbagai jenis.
Buadaya keleleng merupakan salah satu jalan yang menciptakan kebersamaan dan keakraban di antara masyarakat, sehingga menjadi semakin erat dan masih memiliki rasa solidaritas yang tinggi hingga kini.
Pontianak, 09 Maret 2018