Oleh: Sukardi
Mendengar Desa Jangkang Satu mengingatkan akan kenangan sebagai pembimbing Kuliah Kerja Lapangan Integratif STAIN Pontianak (kini:IAIN) tahun 2013. Menyusuri Sungai Kapuas dengan perahu klotok (baca: motor air) melalui Pelabuhan Rasau Jaya. Diselingi canda tawa mahasiswa sepanjang perjalanan sebagai hiburan gratis mengusir rasa penat dan lelah. Terbayang bagaimana tempat tinggal baru,bagaimana dengan masyarakatnya..
Kini setelah 7 (tujuh) tahun berlalu, saya kembali lagi menginjakkan kaki di Desa Jangkang Satu. Desa yang dulu jalannya masih berlumpur dan dipenuhi kerikil tajam, kini sudah berubah sangat drastis. Jalannya mulus bak jalanan di kota-kota. Semuanya sudah diaspal.
Meski demikian tersirat rasa ragu dalam hati,benarkah ini jalan menuju Desa Jangkang Satu?? Rasa penasaran ingin melihat Desa Jangkang Satu memberikan keyakinan bahwa inilah jalan menuju penyeberangan Sungai Bulan. Sepanjang jalan mata disuguhkan pemandangan persawahan dan kebun sawit yang hijau. Tidak lupa dengan kesibukan petani di sawah dan ladangnya. Lebih kurang 1,5 jam perjalanan dihabiskan menuju penyeberangan Sungai Bulan. Sekali lagi rasa ragu masih menyelimuti hati, benarkah ini penyeberangan Desa Jangkang Satu??.
“Pak benarkah ini menuju Desa Jangkang Satu?” Tanya saya pada Anak Buah Klotok (istilah kerennya ABK: Anak Buah Kapal)”.
“Benar Pak,” begitu jawabnya dengan ramah.
Tidak sampai 20 menit perjalanan menuju Kantor Desa Jangkang Satu. Lagi-lagi saya tertegun dengan perubahan infrastruktur jalannya yang begitu bagus. Beda dengan 7 (tujuh) tahun lalu. Di kantor desa saya sudah ditunggu oleh Bapak Kepala Desa, Muhammad Sohib namanya. Dengan ramah Pak Kades mempersilahkan saya untuk duduk di kursi yang sudah disiapkan.
Setelah menyampaikan maksud kedatangan saya dan menyerahkan surat tembusan panitia beliau menyampaikan beberapa hal. Pertama, menurut ceritanya pendidikan formal Pak Kades hanyalah sampai sekolah dasar saja. Selebihnya ditempuh melalui program penyetaraan. Justeru hal inilah yang membuatnya jadi banyak belajar, dan tidak pernah malu bertanya pada siapapun meskipun itu hanya staf desa.
Kedua, beliau berharap pada mahasiswa yang akan melakukan kegiatan agar membantu pihak pemerintah desa melakukan riset sederhana tentang potensi apa yang bisa dikembangkan selain bidang pertanian dan perkebunan. Ketiga, mayoritas penduduk Jangkang Satu adalah warga keturunan Jawa yang sudah turun temurun menetap di Desa Jangkang Satu sejak tahun 1970-an. Tidak heran komunikasi sehari-hari yang digunakan masyarakat adalah Bahasa Jawa.
Setelah berbincang-bincang 2 jam lamanya Kepala Desa kemudian meminta saya untuk melanjutkan perbincangan dengan salah seorang Kaur, Bapak Suwanto namanya. Tidak jauh berbeda dengan Pak Kades, Pak Suwanto juga begitu ramahnya menanyakan hal-hal apa saja yang bisa pemerintah desa siapkan untuk kelancaran kegiatan tersebut.
Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari Desa Jangkang Satu. Warganya yang begitu ramah, desanya yang begitu asri dan bersih membuat memori 7 (tujuh) tahun lalu sulit untuk dihapus.
Karena khawatir hujan turun, sekitar pukul 16.00 saya berpamitan kepada Pak Kades, Bapak Suwanto,dan staf desa lainnya. Suatu saat saya akan kembali lagi ke desa ini dengan melihat perkembangan desa semakin pesat, gumam saya. (*Penulis dari LP2M IAIN Pontianak).