in

Wasiat Pahlawan Nasional

IMG 20201026 WA0014

Oleh: Nur Iskandar

Tetiba tokoh penting di bidang pembinaan antarbudaya (intercultural learning) Asmir Agoes dari Jakarta telepon. Bertanya tentang pengajuan Sultan Hamid II Alkadrie Pahlawan Nasional. “Sewaktu SMP sebelum berangkat ke AS dalam program AFS tahun 1961 di ruang pelajaran sejarah, guru menyebut Sultan Hamid II itu pengkhianat negara. Sekarang kita baru tahu bahwa Sultan Hamid II Alkadrie adalah sang perancang lambang negara Garuda Pancasila. Saya jadi bertanya-tanya apakah benar Beliau pengkhianat negara, sedangkan jasa jasanya luar biasa bagi bangsa dan negara”. Begitu rasa penasaran pria kelahiran Sumatera yang bersahabat dekat dengan sastrawan angkatan 66 Taufik Ismail serta tokoh pendidikan Indonesia yang kini koordinator Unicef Prof Dr Arief Rahman, M.Pd.

Saya menjelaskan 1/1. Tanya jawab. Tanpa terasa dua jam! Kuping ini sampai panas saking berdendang lagu sejarah nan lawas.

Asmir Agoes mafhum. Dia pun berwasiat, “Sebelum saya wafat, saya bermunajat agar Sultan Hamid II Alkadrie sudah dapat ditetapkan negara sebagai Pahlawan Nasional atas jasa jasanya yang sangat besar dan luar biasa bagi bangsa dan negara Indonesia. Pertama lambang negara. Kedua, pengakuan kedaulatan Republik Indonesia dari Belanda melalui Konferensi Meja Bundar.

Asmir Agoes yang merupakan anggota Dewan Pembina, pengambil keputusan strategis Bina Antarbudaya/AFS Indonesia mengecek juga salasilah Sultan Hamid kenapa cakep dan berpostur seperti Eropa. Saya sebut Allahyarham hibrid dari Arab, Dayak, Bugis dan Turki. Asmir juga tanya soal Westerling dengan APRA-nya. Saya jawab dengan putusan MA tahun 1953. Bahwa tuduhan makar lewat pemberontakan APRA di Bandung, 23 Januari 1950 tidak cukup bukti. Sehingga Hamid dibebaskan dari tuntutan primair tersebut. Frase pengkhianat mesti dihapus dari seluruh buku sejarah Indonesia. Sebab memang zero pengkhianatan darinya.

Saya jelaskan detil isi buku yang diterbitkan persatuan djaksa (cetakan 1 tahun 1953, cetakan kedua tahun 1955). Buku ini saya janjikan untuk dikirimkan ke Asmir. Sekaligus buku biografi Sultan Hamid II Alkadrie yang kami tulis bertiga: Anshari Dimyati dan Turiman Faturahman Nur. Juga buku Genocide Mandor yang merupakan bunga rampai, diterbitkan Borneo Tribune Press.

Asmir Agoes sebagai pakar ICL di Indonesia yakin kebenaran akan tersingkap. Sebagaimana dia di tahun 1961 terbelalak menyaksikan acara TV AS di mana Presiden John F Kennedy bisa dikritik keras oleh rakyatnya. Sementara tahun 1961 di Indonesia tabu. Begitu masa Orla begitupun masa Orba.

“Inilah demokrasi, di mana pemerintah jika salah bisa dikoreksi oleh rakyatnya.” Asmir Agoes menyitir bahwa Indonesia ini adalah negara republik yang demokratis. Jika pemerintah keliru, rakyat harus mengingatkan agar tujuan bernegara bisa terwujud, tanpa salah arah dan kaprah.

Asmir Agoes juga merasa penting menguatkan nasionalisme generasi muda dengan etos kejuangan para pahlawan yang rela berkorban, meskipun berhadapan dengan penjara tanpa pengadilan. Namun kebenaran berani dan terus disuarakan, demi kepentingan pemerintah sekaligus rakyat yang bermarwah dan bermartabat.

Sebab untuk apa hidup sedap tanpa harkat dan martabat? Kita, kata Asmir butuh generasi muda yang matang, kritis dengan data dan fakta serta sikap ilmiah, namun berani ambil tanggungjawab secara kuat untuk kepentingan negara. Di sanalah Indonesia Raya akan hebat! (* Foto Asmir Agoes saat hadir di Jurnalisme Kampung Jurnalisme Kampus Kota Pontianak, 2015).

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

telok air bang yus

Wajah Ramah Teluk Air

sungai jangkang

Mengenang Memory yang Terpendam tentang Jangkang Satu