Oleh: Leo Sutrisno
Dalam beberapa (tiga) tahun terakhir ini secara internasional berkembang suatu istilah “Post truth” (Pasca-kebenaran). Masyarakat internasional (dan nasional, bahkan lokal) mengalami pergeseran dalam memaknai istilah ‘kebenaran’. Kebenaran telah bergeser dari ‘factual truth’- kebenaran katual ke ‘emotional truth’-kebenaran emosianal.
Kebenaran faktual merujuk pada sesuatu yang didukung oleh bukti dan fakta. Kebenaran faktual juga sering disebut kebenaran nalar. Sedangkan kebenaran emosional merujuk pada sesuatu yang dirasa benar. Kebenaran seperti ini, sering digunakan secara sengaja untuk memanipulasi kebenaran yang sesungguhnya (kebenaran faktual atau kebenaran nalar).
Panggung politik Indonesia, sejak masa kampanye pemilihan presiden 2019 hingga kini, dapat disaksikan sajian kebenaran emosional ini. Akibatnya, terjadi perpecahan masyarakat luas hingga ke keluarga inti.
Hingar bingar perkembangan kebenaran emosional ini dipercepat oleh keberadaan media komunikasi yang sangat canggih sekarang ini, komunikasi dunia digital, dunia maya. Dalam dunia maya, orang saling bergegas berebut menjadi penyaji informasi yang pertama. Karena itu, nalar hampir tidak difungsikan. Jika dirasakan ‘sepertinya’ benar langsung disebarkan. Fenomena mimetisme berkembang.
Beberapa pemain, memanfaatkan fenomena ini, dengan sengaja mengolah emosi masyarakat sasaran dengan membungkus berita-berita itu dengan kosa kata yang memancing emosi penerima, baik emosi persetujuan maupun emosi penolakan. Logika waktu pendek menyatakan “yang penting bungkusnya, bukan isinya” pasti digemari. Akibatnya, terjadi konflik yang berujung kekerasan.
Konflik semacam ini tidak mudah diredam karena fokus masalah pada emosi yang bersangkutan. Sehingga, hampir tidak mungkin diurai dengan nalar. Sisa ‘permusuhan wowo-jokowi’ di masa pemilu, misalnya, hingga kini masih terasa di sebagian asyarakat. Sementara, para peserta kontestan telah duduk bersama mengelola ‘roti’ Indonesia ini.
Suasana yang diwarnai oleh kebenaran emosional inilah yang disebut dengan ‘era pasca-kebenaran (nalar, pen!)’. Kebenaran nalar telah tertutup oleh kebenaran emosional.
Mengingat kebenaran emosioanl ini cenderung mengarak pada konflik yang berujung kekerasan, maka para penggiat pewarta yang terus menerus menyajikan informasi dengan tetap mengedepankan kebenaran faktual atau kebenaran nalar perlu dipresiasi. Mereka telah bertindak kepahlawan.
Selamat memperingati Hari Pahlawan.