Oleh: Yusriadi
Taksi Bang Is bergerak perlahan. Bunyi mesin kapal berderu. Putaran kipas mendorong air Sungai Kapuas menjauh, mengayuh perahu kecil bermuatan sekitar 6-700 kilo.
Atap berwarna hijau menaungi kami dari panas matahari. Tiang-tiang kecil menopangnya. Kami dapat melihat kiri kanan dengan leluasa.
Saya, Bang Suhaimi, Arif, Noviansyah dan Makrup menjadi penumpang taksi kali ini. Kami dalam perjalanan ke Teluk Air dari Batu Ampar.
Kami melakukan kunjungan singkat ke Teluk Air. Bang Suhaimi, menjadi kepala jalan. Dia ingin bersilaturrahmi ke sana. Masih ada kerabat di sini, Sepupu, yang diingatnya.
Saya juga ingin ke Teluk Air karena selama ini hanya mendengar namanya saja. Sebelum ini, ketika membuat tulisan mengenai era kayu di Batu Ampar, nama Teluk Air banyak disebut narasumber.
Kata mereka Teluk Air itu bekas perusahaan kayu atau pete (PT). Ada beberapa perusahaan besar membangun pabrik pengolahan di sini di tahun 1980-an. Banyak pekerja yang datang ke Batu Ampar pada ujung minggu untuk berbelanja dan mencari hiburan. Inilah yang disukai pedagang-pedagang di Batu Ampar ketika itu.
Seiring berakhirnya era kayu tahun 1990-an, Teluk Air kini sepi. Perusahaan tutup. Pekerjaan yang jumlahnya ratusan (ada yang menduganya ribuan orang) mabur entah ke mana.
Karena berada di cabang sungai yang berbeda, tidak sejurus dengan perjalanan ke Teluk Batang, kampung ini jarang disinggahi atau dilihat orang. Delta sungai yang luas, berada di pulau tersendiri, menambah alasan mengapa Teluk Air menyepi.
Tapi yang menarik, meskipun jumlah penduduk hanya ratusan orang, tetapi, jika dlihat dari jauh rumah penduduk di sini lebih banyak dari jumlah itu. Rumah-rumah beratap daun menjadi pemandangan tersendiri. Orang yang tidak tahu akan menduga rumah beratap daun ini rumah tinggal, dan sekaligus membayangkan “kesederhanaan” hidup masyarakat.
Rumah beratap daun ini bukan rumah tinggal. Ini rumah dapur arang. Dapur arang dimiliki hampir 50 persen warga. Dibangun dari tanah kuning, dengan teknologi tradisional. Rumah ini menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat. Harga arang, terutama untuk kelas A, relatif bagus.
Kami singgah di sebuah dermaga –saya lupa nama pemilik dermaga itu. Beberapa perahu tertambat di sana. Kami menyusuri lorong berlantai papan antar rumah, mengingatkan tipologi rumah kampung di pinggir sungai.
Lalu kami memasuki kampung, berjalan di atas jalan bersemen kecil –sekitar 1 meter lebih. Beberapa warga terlihat sedang duduk bersantai. Mengobrol. Bahasa yang digunakan bahasa Melayu mirip Pontianak.
Sejumlah anak sedang bermain: ada yang mandi berenang, bersepeda, atau sekadar jalan melintas. Sebuah pemandangan yang mengingatkan saya pada masa kecil-kecil dahulu.
Melihat kedatangan kami, pasti, orang bertanya-tanya. Tetapi ada Bang Is, dan Bang Suhaimi yang berjalan di depan yang mereka kenal. Kalau tidak, kami mungkin diduga orang proyek. Ha ha…
Kami singgah di rumah Bang Dol, keluarga Bang Suhaimi. Ngobrol panjang dari satu topik ke topik lain. Mulai cerita tentang kampung, kehidupan warga, hingga kisah masa lalu di era kejayaan kayu. Cerita tentang ikan, udang, buaya, menjadi cerita paling menarik. Lucu abis. Apalagi ada bakwan dengan udang besar di atasnya, kopi, serta udang galah goreng dan asam pedas ikan sembilang.
Kemudian kami berjalan ke arah hilir –arah barat kampung. Menyusuri “keramaian kampung”, melihat keadaan warga. Sisa-sisa kejayaan kayu masih terlihat pada rumah-rumah penduduk.
Warga tersapa satu persatu, memperlihatkan keramahan yang terpancar. Tambahan lagi, seorang Bang Suhaimi yang bersahaja menyalami dan menciumi tangan mereka. Pertemuan mereka membangkitkan ingatan tentang masa lalu, lebih 20 tahun lalu.
Semuanya menjadi moment bernostalgia. Nostalgia yang mengesankan tentang keramahan Teluk Air, dan akan menjadi ingatan bagi pendatang seperti kami. (*)