Oleh: Ambaryani
Sejak 17 Agustus lalu, saya sering melihat postingan media sosial tetangga di kampung Satai Sambas. Foto-foto upacara 17an, lomba bakiak, balap karung, panjat pinang dan beberapa perlombaan lain.
Melihat foto-foto itu, saya jadi semakin rindu dengan kemeriahan mengisi hari kemerdekaan di kampung halaman. Sudah sangat lama momentum 17an di kampung saya lewatkan. Terakhir saat saya masih SD dulu. Saat saya masih ikut serta dalam perlombaan melawan teman sebaya.
Sejak di Pontianak, jarang saya menyaksikan dengan dekat kemeriahan perlombaan 17an. Terlebih sejak sudah selesai sekolah. Tak pernah lagi terlibat langsung dalam acara-acara kemerdekaan RI.
Sudah 2 sore terakhir, anak-anak saya merengek minta nonton panjat pinang tak jauh dari gang tempat tingal kami. Beberapa tetangga sudah terlebih dahulu ikut uforia kemeriahan 17 Agustus.
Saat saya dan anak-anak menyaksikan dari dekat panjat pinang, saya seakan dibawa bernostalgia saat berada di kampung halaman. Nonton bersama teman sebaya, sambil menunggu perlombaan lainnya dilaksanakan.
Si abang dan adek, nampak heran saat melihat banyak orang bersusun-susun memanjat pohon pinang yang sudah tak lagi berdaun. Maklum, ini kali pertama mereka langsung panjat pinang.
“Kok bisa orang panjat pinang tak ada ranting-rantingnya bunda? ”
“Kok pohon pinangnya tak ada daunnya sih bunda? ”
Anak-anak bergantian bertanya. Mengungkapkan keheranannya soal panjat pinang yang belum pernah disaksikannya sebelumnya. Mungkin dalam bayangan mereka selama ini, panjat pinang adalah benar-benar memanjat pohon pinang hidup. Seperti pohon pinang yang ada di depan rumah tetangga.
Lebih dari keheranan yang muncul dari anak-anak saya, si emak sebenarnya ikut larut dalam suka cita. Menginggat masa dulu ikut balap karung, masukkan paku dalam botol, masukkan benanag dalam jarum, lari estafet buah pinang. (*)