Oleh: Ambaryani
Berbagai macam kebijakan diterapkan pemerintah pusat maupun daerah untuk menghadapi masa pandemi yang belum mau pergi. Kebijakan sosial distancing, PSBB, penutupan tempat usaha, work from home, sekolah dari rumah, penutupan tempat ibadah, rumah makan, cafe, mall-mall ditutup.
Anggaran-anggaran pemerintah dipangkas dan dialihkan (refocusing anggaran) dan dana tersebut dialokasikan untuk penanganan covid-19. Sudah banyak upaya untuk mengatasi kondisi yang serba terbatas ini.
Tapi, hingga kini berbagai macam usaha tersebut nyatanya belum berhasil memutus mata rantai penyebaran virus yang sudah kemana-mana. Justru dari hari-kehari, berita pasien terkonfirmasi covid-19 semakin bertambah.
Dampak dari berbagai kebijakan diatas seakan membuat banyak yang mumet. Banyak karyawan yang dirumahkan. Banyak pengusaha yang gulung tikar, tak mampu bertahan sekian lama pendapatan terus merosot tajam. Roda perekonomian bergerak melamban, bahkan mundur (minus).
Memang kondisi luar biasa ini membuat banyak pihak kelimpungan dan berbagai aspek seakan berjalan upnormal. Pemerintah pastinya membuat kebijakan dengan berbagai pertimbangan dan perhitungan matang. Mencari jalan keluar (jalan tengah) agar semua dapat terselamatkan. Dan tidak dipungkiri dari kebijakan tersebut menimbulkan feed back bermacam ragam. Bagai 2 kutub magnet, positif dan negatif.
Pertanyaannya kemudian, apa ada yang salah dari kebijakannnya? Atau apakah masyarakat yang kurang bijak menyikapi kebijakan pemerintah?
Pertanyaan ini membawa kita pada satu hal: pemerintah dan masyarakat harus bijak. Kedua-duanya, bukan salah satu.
Pemerintah yang harus bijak dalam membuat kebijakan. Masyarakat Indonesia, Pontianak khususnya, juga harus menyikapi kebijakan yang ada dengan bijak.
Sebagai contoh, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang tempat usaha yang diperbolehkan beroperasi (buka) kembali dengan catatan mematuhi protokol kesehatan.
Tapi, di lapangan, slogan-slogan tentang pencegahan covid-19 dan anjuran menerapkan protokol kesehatan seakan-akan hanya menjadi pemanis, pajangan atau jangan-jangan hanya menjadi syarat saja.
Nyatanya, masyarakat banyak yang tidak disiplin. Ada tempat cuci tangan, tetapi tidak digunakan. Seakan hanya jadi pajangan dipintu depan. Dianjurkan menjaga jarak, malah duduk (berdempet-dempet) berdekatan di cafe yang ramai. Dilarang ke sekolah, tapi malah anak-anak keluyuran kesana-kemari.
Perkantoran sudah lama jalan kembali walaupun dengan kondisi yang terbatas. Iya, terbatas karena beberapa urusan tak bisa dilaksanakan seperti dulu lagi, harus via online.
Beberapa kepala daerah sempat hampir mendapat pinalti karena dianggap lengah dan tidak tegas dalam menghadapi masa pandemi.
Tetapi sekali lagi, kondisi saat ini bukan hal mudah. Tidak mudah bagi pemerintah untuk menjalankan tugas menangani pandemi ini. Tidak mudah juga bagi kita semua menghadapi beberapa kebijakan yang mau tidak mau harus dihadapi dengan bijak agar kondisi ini segera membaik.
Membaik seperti sedia kala. Membaik secara tatanan kehidupan dan pemerintahan. Membaik secara perekonomian. Membaik secara emosional. Membaik secara mental.
Ambaryani, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Publik FISIPOL Untan Pontianak