Oleh: M Hermayani Putera
Lerry, saudara Hoten yang tinggal di Bungan dan kebetulan sedang ada urusan di Putussibau, juga ikut menyertai kami. Ia duduk paling depan di haluan perahu. Tugasnya memberi arah jalannya perahu agar tidak menabrak batu di sungai atau gelondongan kayu yang hanyut dari arah hulu. Melihat abangnya membawa boks, dengan sigap Lerry memilih tiga batu berukuran sedang. Ia susun membentuk tiga kaki, siap jadi perapian. Ia pilih beberapa ranting kayu yang cukup kering dan mudah didapat di sekitar karangan, dipatahkan menjadi ukuran lebih kecil, disusun di tengah perapian.
Dandang ukuran sedang ia ambil dari perahu. Air isi ulang dari galon ia tuangkan secukupnya ke dalam dandang. Ia mengeluarkan korek api gas dari tas pinggangnya. Api menyala. Beberapa menit kemudian, air pun mendidih. Kopi panas disajikan kepada kami. Alam dan pengalaman mendidiknya bagaimana bekerja dengan cekatan.
Hoten dan Lerry adalah Orang Punan, demikian mereka sering disebut dalam kajian antropologi. Orang Punan sudah mendiami Desa Bungan Jaya dan Tanjung Lokang sejak 6-7 generasi lalu. Orang Punan, bersama orang Bukat, adalah tipologi masyarakat Dayak yang berburu dan meramu (huntered and gathered) atau mengumpulkan hasil hutan bukan kayu.
Karenanya, mereka tertarik tinggal di kawasan ini mengingat sumber emas, sarang burung walet, dan gaharu yang cukup melimpah. Kondisi alam yang banyak riam, pegunungan karst, dan hutan lebat juga telah membentuk tubuh mereka menjadi tegap, kekar dan sangat kuat.
Mesin 40 HP berbobot 80 kg, misalnya, mampu dipikul sendiri oleh Hoten atau Lerry. Ketika kondisi air agak surut atau sebaliknya sedang pasang besar akibat hujan deras di hulu menyebabkan perahu sulit melewati riam, perahu ditarik dengan tali tambang di bagian depan. Beberapa orang tetap siap siaga berada di sungai. Tugas mereka memikul, mengangkat, dan menyeret perahu kayu hingga ke bagian hulu sungai yang arusnya lebih tenang dan aman bagi perahu untuk melanjutkan perjalanan.
Mereka jarang menggunakan alas kaki. Tapi lihatlah bagaimana mereka berjalan di sela-sela bebatuan atau menembus hutan: lincah dan tangkas sekali. Kaki mereka menapak dan menjejak di permukaan batu dan tanah. Melekat, menyatu dengan alam.
Hoten adalah rekan kerja kami di WWF. Keberagaman kelompok masyarakat Dayak di Kapuas Hulu hampir semuanya terwakili di WWF, baik sebagai staf maupun mitra kerja di lapangan. Ada yang berasal dari Iban, Kantu’, Tamambaloh, dan Kayan. Strategi ini kami lakukan agar program-program konservasi dan pemberdayaan masyarakat WWF lebih mudah diterima, diterjemahkan, dan dilakukan bersama masyarakat di lapangan. Penerimaan yang baik oleh masyarakat adalah prasyarat yang harus ada jika program sebuah institusi ingin berhasil.
Setelah makan siang, istirahat yang cukup, dan memberikan kesempatan kepada kami yang muslim shalat zuhur dan ashar dengan cara digabung (jamak) dan diringkas (qashar), Hoten memberi kode lagi kepada kami: mari melanjutkan perjalanan ke hulu sebelum gelap menyergap. Setelah hampir dua setengah jam, menjelang senja kami tiba di Desa Bungan Jaya. Penduduk desa menyambut kami dengan ramah. Kami akan menginap dua malam di sini.
Salah satu yang aku kenal adalah Pak Lacik, tokoh masyarakat di sana. Badannya masih tegap, walaupun sudah berumur lebih dari 70 tahun. “Apa kabar, Nak Herma?” sapanya ramah, sambil menyalami dan memelukku erat. Luar biasa, beliau masih mengingat namaku dengan baik.
Terakhir kami bertemu bulan Agustus 2003, ketika WWF bersama Balai Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) membawa beberapa tokoh masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan TNBK melakukan kunjungan muhibah ke Taman Negara Batang Ai, Sarawak, Malaysia. Selain Pak Lacik, beberapa tokoh masyarakat lainnya, seperti Pak Salowe (Ketua Dewan Adat Dayak Kapuas Hulu), Pak Paskalis Basyah dari Kayan, Daerah Aliran Sungai (DAS) Mendalam, Pak Batok (Tamambaloh, DAS Sibau), dan Pak Ucing (Iban, DAS Embaloh) juga turut serta dalam trip ini.
Masyarakat adalah pilar utama efektivitas pengelolaan kawasan konservasi. Lewat kunjungan muhibah ini, kami berharap terbangun komunikasi dan kerjasama antar masyarakat, sehingga bisa saling tukar pengalaman dan pembelajaran mengenai praktek-praktek dalam mengelola sumber daya alam secara lestari dan memberikan manfaat yang terus-menerus bagi masyarakat.
Kedua kawasan ini, Betung Kerihun dan Batang Ai (serta Lanjak Entimau Wildlife Sanctuary) sejak pertengahan 1990-an sudah merintis pendekatan kerjasama pengelolaan kawasan konservasi lintas batas (transboundary conservation area), dan termasuk yang pertama kali di Asia Pasifik. Selain Betung Kerihun/Batang Ai/Lanjak Entimau, ada juga inisiatif serupa di West Tien Shan di Asia Tengah (perbatasan Kazakstan, Kirgistan, dan China), Manas (perbatasan Bhutan dan Assam, salah satu negara bagian di India), dan Wasur-Tonda (Indonesia dan Papua Nugini).
Salam Lestari,
#MenjagaJantungKalimantan, #KMOIndonesia, #KMOBatch25, #Sarkat, #HermaInside, #SalamLestariSalamLiterasi