Oleh: Ambaryani
Siang ini, Abang Yanda, anak kami yang baru berumur 4,4 tahun, muncul di dapur. Dia baru bangun tidur siang dan berniat minum air putih. Saya sedang mengisi botol air minum Ayahnya. Tiba-tiba dia langsung bertanya dengan suara lantang. Tidak seperti anak yang baru bangun tidur.
“Bunda, makanan yang masuk dari sini, keluarnya lewat mana?”
Saya tidak memperhatikannya karena masih konsentrasi mengisi air dalam botol. Khawatir meleset dan tumpah.
Sayahanya bilang, “Apa Bang?”
Kemudian dia mengulangi pertanyaaanya lagi dengan lantang.
“Bunda…makanan yang masuk lewat sini, keluarnya lewat mana?”, kali ini nadanya tambah 1 oktaf. Lebih tinggi. Ini tanda dia tak puas dengan jawaban saya.
“Makanan apa, Bang?”
“Makanan yang lewat sinik ni…”, jawabnya dengan meletakkan telunjuknya di leher bagian depan. Saya baru ngeh dengan pertanyaanya.
“Keluar lewat e’o’lah, Bang…”, jawab saya.
E’o’ cara Abang menyebut buang air besar.
“Memang dia tau jalan keluarnya? Tak sesat Bunda?” pertanyaanya bertambah lagi. Dia kembali berpikir, muncul pertanyaan baru.
“Taklah Bang…makanan yang masuk, digiling, disaring dalam perut. Sarinya jadi tenaga, sisaknya jadi ampas dibuang waktu e’o”, saya berusaha memberi jawaban biar Abang paham.
“O….”, katanya sambil mencerna jawaban saya.
Abang memang begitu. Kalau pertanyaan yang diajukannya belum mendapat jawaban yang masuk akal menurutnya, akan terus bertanya.
Dikejarnya terus jawaban kita sampai dia paham. Kemudian baru dia minum air putih. Selesai minum, muncul pertanyaan lagi.
“Kenapa gelas ini ringan, yang itu berat Bunda?”
Pertanyaannya muncul setelah gelas yang dipegangnya diletak di atas meja. Dia biasanya pakai gelas kaca besar bertangkai yang berat. Hari ini dia pakai gelas besar bertangkai juga, tapi bahan mika. Jadi lebih ringan.
“Ini gelasnya dibuat dari bahan mika, Bang, yang itu dari kaca. Makanya ini ringan, yang itu berat”, langsung saya jawab serius pertanyaan Abang kali ini.
“O…mika ringan ya…”, dia mengambil kesimpulan.
Dalam benak saya kemudian, muncul pikiran saya harus cari referensi bagaimana menjawab pertanyaan anak, yang sesuai dengan dasarnya tapi mudah dicerna. Sesuai umurnya.
Pertanyaan-pertanyaan Abang, butuh jawaban yang masuk akal dan mudah dipahami. Abang, oh Abang. (*)