Oleh: Ambaryani
Tebang Kacang. Saya sering mendengar nama desa ini sejak masih kuliah dulu. Ada teman sekelas yang aktif di UKM Pramuka dan ikut kegiatan kemah di sana. Dulu saat teman menyebut tempat ini, yang terlintas, jauhnya….
Pagi ini saat kami ada urusan di sana, rasanya lokasinya tidak sejuah bayangan saya. Setelah pertigaan Kuala 2, saya seakan sedang menapak tilas peninggalan sejarah kejayaan perusahaan-perusahaan kayu pada eranya. Bangunan-bangunan besar, berpagar keliling cukup tinggi kini sepi, sudah bersemak. Beberapa rumah ibadah yang didirikan perusahaan, ada yang masih terawat dan ada juga yang nampak terbengkalai. Identitas perusahaan ada di bawah nama rumah ibadah pada plangnya.
Selain deretan perusahaan, di kanan kiri jalan bangunan pertokoan yang nampak permanen maupun tidak. Pasar Alas juga nampak cukup padat. Lapaknya banyak, ada beberapa yang sudah kosong saat kami melintas pagi menjelang siang. Saya membayangkan, pasar ini pasti ramai dulu saat perusahaan masih merajai kawasan itu.
Di pasar inilah terdapat beberapa cabang jalan yang sebenarnya cabang-cabang itu juga akses menuju Tebang Kacang. Kami mengambil jalan simpang kanan arah pasar. Tak jauh dari pasar belok kiri arah jembatan. Hanya beberapa menit dari jembatan itu, sampai di Desa Mekar Bersama Dusun Pelita RT 03 RW 07.
Menuju arah penyeberangan, terdapat pohon besar dan warung makan di sebelah kiri jalan. Di depan warung itulah terdapat plang desa dan dusun. Pas di samping warung itulah jalan menuju penyeberangan Parit Sri Ketapang Tebang Kacang. Agak mudah mencarinya, karena terdapat plang papan putih ditulis menggunakan cat hijau di mulut jalan.
Di bagian depan jalan bersemen mulus, beberapa meter ke dalam jalan mulai pecah-pecah tapi masih relatif mudah dilewati. Kanan kiri persawahan dan banyak pohon sagu. Ada yang masih rimbun, ada juga sebagian yang sudah tumbang. Di ujung jalan terdapat pertigaan, ambil arah kiri. Di ujung pertigaan sungai sudah nampak. Dari pertigaan itu, hanya tidak lebih 5 menit sampai di penyeberangan. Penyeberangan agak di ujung, hanya ada beberapa rumah di ujung dan sudah mulai sepi. Kata Ibu yang sedang duduk di teras rumah ujung, jalan itu buntu.
Kami sempat menunggu beberapa saat. Baling-baling motor air sedang diperbaiki. Menjelang jam 10 kami menyeberang. Motor air hanya bisa menganggkut 3-4 motor dan tidak melayani tosa bermuatan. Kanan kiri penyeberangan nampak beberapa keramba warga di ujung anak tangga menuju sungai. Ikan nila sepertinya, ikannya nampak sekilas. Dermaga seberang kelihatan. Tapi sepi, tak ada yang menyeberang.
Beberapa orang duduk di pondok kecil beratap terpal di penyeberangan. Terdapat bangku dan meja untuk berjualan bensin dan beberapa jenis kue. Rumah-rumah warga ada yang sudah permanen dan semi permanen.
Kantor desa terletak pertenggahan antara dusun Tebang Sari dan Turba. Kanan kiri kantor desa masih semak belukar. Bagian belakang dibatasi kebun karet, bagian depan setelah jalan terdapat parit. Di seberang parit masih semak belukar juga. Dusun Turba tertutup semak dan tak nampak dari kantor desa.
Dulu beberapa orang yang saya kenal pernah berdomisili di desa ini setelah kerusuhan 97. Tapi tidak lama, kemudian pindah. Cerita pendahuluan sudah sering juga saya dengar tentang desa ini. Entah seperti apa bayangan Tebang Kacang saat tahun 97 dulu. Tapi yang jelas, kini desa ini sudah nampak mulai tertata. Dan saya menyaksikan jejak sejarah lokasi korban tragedi 97 dulu.
Tapi, ternyataan itu dugaan saya saja. Lokasi pengungsian masih di ujung sana. Madani.
Walaupun belum sampai Madani, namun saya melihat bagian dari sejarah perkayuan di Kalbar. Saya juga melihat bagian dari Tebang Kacang yang terkenal itu. (*)