Oleh: Nur Iskandar
Tahun 1989 ketika tamat dari SMP saya mendaftar ke sekolah yang baru berdiri, yakni Sekolah Menengah Pertanian Flora Agung. Saya tertarik masuk ke SMT ini karena tenaga pengajarnya hampir 100 persen insinyur. Kepala sekolahnya Ir Supandry Usman–alumni Universitas Brawijaya-Malang-Jatim–adiknya Drs H Hendri Usman–tokoh hebat Kalimantan Barat. Saya angkatan kedua. Total siswanya sekira 100-120 orang–3 kelas. Angkatan pertama 1 kelas, angkatan kedua, 2 kelas.
Beberapa bulan sekolah di sekolah menengah kejuruan terdapat even besar di kalangan sekolah-sekolah kejuruan berbasis pertanian. Kami kumpul satu asrama, yakni di Sekolah Umum Perikanan Menengah yang terkenal dengan kedisiplinannya yang ala militer. SUPM ini beralamat di Nipah Kuning–ujung Koyoso-Jeruju. Asramanya hebat. Fasilitasnya lengkap. Jomplang dengan sekolah kami yang seumur jagung. Sekolahnya pun masih menumpang. Menumpang di SDN Gang Swasembada II, Jalan Gusti Situt Mahmud, Siantan Hilir, Pontianak Utara. Kala menjangkau sekolah ini, saya naik sepeda balap dari Kampung Sungai Raya Dalam. Jaraknya lebih kurang 10 km. Pulang Pergi sama dengan 20 km!
Di event itu, selain kumpul sama siswa-siswi SUPM, juga ada kontingen SPMA Mempawah–mentereng–kampus mereka lengkap. Apalagi SPMA Singkawang–almamaternya Bupati Sambas Ir H Burhanuddin, bahkan Purek 1 Untan saat ini Dr Radian, MS–mereka semua alumni SPMA kala masih beralamat di Jl Ali Anyang dekat Dinas Pertanian Provinsi Kalbar sekarang. Namun sekolah pertanian di Ali Anyang itu bedol desa ke Singkawang yang saat itu merupakan bagian dari Kabupaten Sambas si lumbung pangan Kalbar.
Oh iya, ada satu lagi kerukunan keluarga sekolah kejuruan pertanian, yakni sekolah peternakan. Sekolah Menengah Peternakan ini kampusnya di Jl Adi Sucipto–Sungai Raya tak jauh dari kampung saya Sungai Raya Dalam–namun sekolah peternakan ini dekat dengan Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Barat di bilangan BKKBN dan RSUD dr Soedarso.
Event besar kawula muda kejuruan pertanian ini berisi sejumlah kompetisi di berbagai bidang. Ada kecakapan akademis. Ada di bidang olahraga. Ada berbagai seminar dan diskusi.
Sebagai sekolah yang baru berdiri, kami tak tahu menahu dengan berbagai lomba ini. Bondo nekat. Ikutan saja, dan persiapan dilakukan di arena lomba. Seru juga, semua tanpa perencanaan. Tapi kreativitas justru lahir di masa kepepet. Manajemen by Kepepet itu memang ada. Energinya besar. Jika situasi sulit dimanajemen dengan baik, ibarat dikejar anjing gila, parit lebar bisa diseberangi, pagar tinggi pun bisa dlompati. Tak pelak, saya dipilih maju untuk lomba karya tulis ilmiah. Bismillah. Niat baik lebih hebat daripada menggerutu dan menyalahkan para guru yang telah mengirim kami ke sarang maut!
Lalu apa ide kreatifnya? Yang bisa menandingi kehebatan kontingen sekolah-sekolah papan atas? Wong kami ini tidak pernah melakukan riset sama sekali?! Tak pelak, dengan manajemen by kepepet, saya ambil ide yang kerap kami lakukan di rumah dan kampung berbasis pertanian Amsterdam–Ahmad Yani Masuk Sungai Raya Dalam. Saya bilang saja metode kami adalah observasi lapangan. Turunan dari paradigma fenomenologi. Subjeknya adalah kelapa (Cocos Nucifera.L) Sub topiknya pengolahan buah kepala menjadi minyak! Produksi yang bisa jadi duit–menuju pabrik yang mensejahterakan karena membuka banyak lapangan kerja. Mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga penanganan produksi pasca panen. Bahkan industri turunan yang banyak sekali derivasinya. Tak pelak presentasi atas data dan fakta serta analisanya dituangkan dengan cara murah-meriah. Presentasi ala zaman bahulak. Yakni ambil selembar kertas manila atau kertas karton–begitu dulu kami menyebutnya. Lalu dibuatkan skema bergambar. Dari sinilah kami start bernarasi dan berargumentasi di depan dewan juri. Ditonton pula ratusan pasang mata yang memenuhi Gedung Auditorium. Bar bar bok. Bebar tentu saja, Tapi apa lacur, nasi sudah jadi bubur, kita buat bubur yang uenak tenan.
Sekolah yang lain? Mereka menggunakan preparat hebat-hebat. Hati jadi ciut. Tapi kelapa memang hebat. Sungguh hebat dan bermartabat. Ketika diumumkan, ternyata dari sekolah menumpang, dari bahan presentasi dadakan, murah-meriah pula. Keluar sebagai jawara! Masya Alloh senang gumbiranya. Serasa ingin melompat ke sungai depan SUPM dan menjadi ikan berenang renang ketepian–bersenang-senang sekarang!
Dari ajang lomba secara akademis itu muncullah adrenalin sanggup bersaing dengan sekolah-sekolah papan atas. Mat Syukur kawan saya dari Kubu menjuarai balap karung. Walaupun dia berkaca-mata minus yang tebal, sepertinya titik finish itu buram, namun secara mengejutkan macam jet lajunya dia, bisa menang pertempuran meninggalkan pebalap lainnya asal Mempawah, Singkawang dan tuan rumah. Sungguh hebat dan heroik suasana saat itu. Flora Agung pun berkibar sebagai sekolah yang punya taji di kalangan sekolah mapan bidang pertanian. Berikutnya penerimaan siswa dari Kalbar ke Flora Agung masuk 100-an setiap tahun, minimal dua kelas. Kami punya banyak kader untuk dipersiapkan pada event besar yang sama setiap tahun.
Begitulah pindai buah dari presentasi sederhana tentang kelapa. Tentang santan dan minyak, kebiasaan yang dilakukan emak dan nenekku di belakang rumah yang dipenuhi pohon kelapa. Pohon perkebunan warisan leluhur dari Tanah Sulawesi yang mana buyut kami diundang datang ke Kalimantan oleh Kesultanan. Demikian sepenggal kisah masa lalu. Semoga membawa manfaat kesejarahan kenapa kami terus berjuang dengan adrenalin pembangunan dari titik paling marginal untuk mewariskan sejarah dengan tinta emas. * Foto saya berbaju loreng, ala militer. Baju pinjaman dari abang yang baru ikut Latsitarda-Resimen Mahasiswa. Mitra team saya Supriyati–kini sudah jadi ibu-ibu genit namun tetap cantik hehehe.