Oleh: Juharis
Hingar bingar perayaan tahun baru sudah mulai tercium. Pasalnya tahun baru hampir tiba, tinggal menghitung jari. Rencana acara besar seperti festival dan semisalnya sudah tergambar oleh mereka yang berkecimpung dalam dunia entertainment. Sebabnya, momentum tahun baru menjadi sasaran yang empuk untuk dijadikan ajang mengobarkan kemeriahan. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga tua tak luput dari euforia pergantian tahun.
Bagi sebagian orang tahun baru adalah masa yang dinanti-nantikan. Pedagang misalnya, bermunculanlah pedagang dadakan. Kesempatan meraup keuntungan yang cukup besar membuat beberapa kalangan tidak mengabaikan begitu saja kesempatan yang ada. Sebagaimana teori polisi niat dan kesempatan, tapi ini bukan kita asumsikan ke tindak tanduk kejahatan. Akan tetapi, di kalkulasikan kepada niat ditambah kesempatan menghasilkan keuntungan. Nah, perlu digaris bawahi adalah output-nya berupa keuntungan.
Hal ini berjalan kelindan dengan banyaknya permintaan orang-orang terhadap barang-barang yang dibutuhkan saat malam puncak tahun baru, dalam hal ini katakanlah aksesoris berupa terompet. Menginterkoneksikan antara permintaan dan penawaran yang merupakan anak kandung dari konsumsi dan produksi adalah kewajaran yang terjadi dalam dunia ekonomi. Ketika keuntungan besar maka orang akan beralih ke produksi, dengan kata lain menjadi penjual.
Terompet kelihatannya sudah menjadi ikon tahun baru, karena kemeriahan suara dan intepretasi asyik yang dibawa oleh terompet tersebut bersinergi saling beriringan bersama para penikmat huru hara tahun baru. Beberapa orang rela merogoh kocek dalam dalam menamatkan tahun lama demi menikmati bagian indah dan meriahnya. Tidak lain, inspirasi ini mereka dapatkan dari gagasan bangsa eropa yang menggelar pesta pora di momen seperti ini.
Keberagaman dan kebermaknaan orang dalam memandang tahun baru sesuai kacamata masing-masing. Ada yang menyuarakan pesta pora dengan kemeriahannya, tidak sedikit juga yang lebih memilih untuk melakukan hal-hal yang jauh lebih bermanfaat. Seperti ritual ibadah dan yang lebih bermakna lainnya. Sedikit menyoal di negara Jepang, mengutip dari Qureta.com yang disuratkan oleh Thaufan Malaka, katanya orang-orang Jepang merayakan tahun baru dengan sakral, yaitu berkirim surat yang isinya ucapan selamat tahun baru dan mohon bantuan di tahun ini (tahun yang baru dimasuki). Lanjutnya, siang hari di tahun baru orang Jepang berziarah mengunjungi kuil-kuil. Festival ini kemudian popular dengan nama Hatsumode. Meminjam pernyataan Ian Reader (1991) masih dalam sumber kutipan yang sama, dalam Religion in Contempory Japan, 80 persen orang Jepang terlibat dalam perayaan sakral ini. Antusias mereka untuk memohon doa dan keberuntungan di tahun baru sangat tinggi.
Kebermaknaan tahun baru begitu banyak, hal ini dilatarbelakangi mozaik pemikiran yang warna warni. Dalam persepsi Islam ada yang menjadi polemik. Terutama dalam keikutsertaan perayaan yang diadobsi dari barat. Muncullah nanti berupa tasyabbuh atau menyerupai kaum kafir. Tasyabbuh memang tidak diperbolehkan di dalam Islam. Sebagaimana Hadits dari Said Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya. Kami para sahabat berkata, Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani? Beliau menjawab, Lantas siapa lagi?
Di sini dapat diambil kesimpulan bahwa perayaan tahun baru Masehi diharamkan menurut Islam, hal ini juga dinyatakan oleh Ustadz Zulkifli Ali dalam situs voa-islam.com karena berpotensi menggiring kaum muslimin melakukan adat jahiliyyah yang seharusnya ditinggalkan.
Namun, kita juga tidak boleh sembarangan mengkafir-kafirkan orang yang merayakan tahun baru. Setiap agama sudah barang tentu membenarkan keyakinan agamanya dan berpegang teguh dengan agama masing-masing, karena agama adalah soal keyakinan. Corak perayaan setiap agama tentu memiliki makna dan hikmah tersendiri bagi agama dan kepercayaan masing-masing. Sebagian kalangan umat Islam, ada yang kemudian membuat suatu yang berbeda ketika malam tahun baru. Sesuatu yang mengembalikan kaum muslimin kepada fitrahnya, yaitu dalam hal penciptaan manusia untuk beribadah kepada Sang Pencipta. Ada yang melakukan talim bersama, shalat tahajjud berjamaah, berdzikir kepada Allah. Pada intinya hendak bermuhasabah (mawas) diri, memperbaiki yang kelam dan melepaskan diri dari narapidana masa lalu yang terpenjara oleh kenangan buta. Hal ini terlepas dari silang pendapat internal Islam yang memandang bidah dan bukan bidah karena konteks pembahasan atau kata kuncinya adalah perubahan. Baik sikap maupun mental.
Perbedaan pendapat memang fitrah dari Allah, ketika kita menyuarakan perbedaan dan ngotot saling membenarkan keyakinan masing-masing dan menyesatkan yang lain baik antaragama atau sesama agama yang timbul adalah perpecahan. Maka, sebagaimana menurut Munim A. Sirry di pengantarnya dalam buku karangan Fathorrahman Ghufron (2016: 20) perbedaan pada dasarnya adalah potensi kebersamaan untuk mewujudkan persatuan, hal ini tentu disyarati dengan adanya sikap saling menghargai dan mengapresiasi. Lanjutnya, dengan menyadari sikap keragaman atau perbedaan disikapi sebagai titik temu untuk saling mengenal, mengetahui, dan mengisi.
Sewaktu penulis mencermati beberapa artikel terkait tahun baru yang dilaksanakan antaragama dengan segala macam bentuknya, kesemuanya bermuara pada satu hal yaitu memperbaiki masa yang telah berlalu. Oleh karena itu, titik temu kebersamaan untuk persatuan dalam tulisan ini adalah perubahan yang lebih baik dari sebelumnya, dalam tanda kutip perubahan bangsa bukan perubahan akidah beragama. Kita sepakat bahwa masa lalu adalah suatu keadaan yang tak satu orang pun mampu menghampirinya atau mengulangnya, bahkan satu detik pun tidak akan pernah siapapun mampu. Mengingat salah satu pesan Imam Al-Ghazali kepada muridnya bahwa beliau mengatakan, Hal yang paling jauh di dunia ini adalah masa lalu.
Kesimpangsiuran masa lalu kerap kali membuat kita menyesal dan timbul keinginan untuk memperbaiki diri, tahun baru menjadi momentum emas untuk meresonansi dan merefleksikan revolusi diri. Meskipun sejatinya penerapan perubahan itu tak lekang atau dibatasi oleh waktu. Kapanpun perubahan harus ditanamkan oleh tiap individu terlebih saat sedang melakukan keburukan, maka segera membenahi diri adalah sebaik-baiknya perbuatan. Dalam kaitan ini, kita memandang dari segi kebiasaan pada umumnya yang menjadi titik temu seperti disebutkan sebelumnya, karena sadar atau tidak mayoritas orang mengindikasikan tahun baru dengan masa perubahan.
Bukankah dengan bersatu menggegap-gempitakan dalam satu suara perubahan akan mewujudkan Indonesia yang lebih baik? Suatu hal yang unik jika kemudian kita dibiarkan dalam perbedaan tapi justru menyuarakan persatuan, tidak heran jika Indonesia memerlukan ikhtiar panjang untuk menciptakan kesatuan. (Penulis adalah Mahasiswa Ekonomi Islam A Semester 3 IAIN Pontianak)