Oleh: Muslihun Muslim
Hamka Siregar adalah nama yg melekatkan jiwa dan semangat sahabat yg satu ini. Bagaimana tidak, nama Siregar menandai watak batak yg khas, suara keras tapi hati lembut. Sisi lain, nama Hamka menggambarkan sikap kuat dalam argumen pemikiran keislaman. Begitu saya menginjakkan kaki utk meraih asa pendidikan S2 saya di kota Gudeg Yogya, awal mula saya presentasi makalah, orang pertama yg sangat semangat “menyantap” sajian makalah saya adalah bang Hamka. Meski d ruang kuliah saling “baku hantam” mengkritisi makalah masing2, di luar ternyata dialah orang yg selalu mengajak saya keliling Yogya dg pespa tua yg dibawanya dari Pontianak. Suatu ketika, saya bilang “Bang ayo kita cari “buluan”, bang Hamka bingung tujuh keliling. Setelah ketemu barangnya, baru dia comment, “ooo ternyata bahasa Lombok-Sasak Rambutan adalah buluan”.
Satu peristiwa yg susah saya lupa adalah ketika semua mata kuliah S2 sudah keluar, beliulah orang pertama yg teriak “Alhamdulillah kita sudah magisteeer” dg suara yg sangat lantang. Padahal belum lulus toefl, belum lulus tesis dstnya. Ini mengajarkan kpd saya bahwa optimisme itu penting, bahwa ada kendala dalam ikhtiar tidak boleh membuat kita surut. Pada diri Bang Hamka, nilai optimisme ini yg paling dominan dari sekian kelebihan yg dimilikinya. Saat setelah selesai kuliah S2 itu, beliau pula yg “bertaruh” siapa yg duluan jadi guru besar. Siapa yg duluan jadi rektor, siapa yg duluan…..dst.. Ternyata dari taruhan dua hal tersebut, bang Hamka lah yg nomor wahid. Meski utk profesor, pengukuhannya lebih dahulu Profesor Nur Yasin dari UIN Malang. Sementara Bang Hamka telah dua periode menjadi Rektor, dan meraih guru besar yg belum sempat dikukuhkan sampai ajal menjemputnya.
Sekitar tahun 2013 saya bersama rombongan FKUB NTB berkunjung k Kota Pontianak, sebagai teman, beliau mengajak saya k kantornya di IAIN Pontianak, yg saat itu beliau sdg menjadi Rektor. Disitulah beliau menjelaskan perubahan drastis pemikiran keagamaannya. Dulu, sangat liberal, dengan dosen vaforitnya Profesor Amin Abdullah. Saat ini telah bergeser k kajian keagamaan dg mengenal “ruh” dan Baitullah sebagai pengenalan utama dalam pemahaman Al-quran dan Pemikiran Keislaman.
Beliulah yg mengajak saya ikut di kelompok kajian keislaman yg terakhir ini, yang awalnya saya sempat agak ragu, namun seiring waktu, saya menjadi lebih yakin karena dosen favorit pemikiran Liberal di UIN Yogya Profesor Amin Abdullah saat ini adalah salah satu pentolan pengajian tersebut, yang oleh pendirinya disebut Jam’iyyah Islamiyah (JMI). Bahkan para guru besar mantan rektor IAIN dan UIN banyak bergabung dg pengajian ini yg ternyata lintas Ormas, ada dari Muhammadiyah, NU, NW dstnya. Menurut saya, pengajian sejenis ini penting, sepenting kita ingin selamat dunia akhirat. Bagi saya, inilah salah satu jasa Bang Hamka bagi saya. Dia telah mengingatkan pentingnya mengejar cita2 dunia: profesor, rektor dst…Tapi jauh lebih penting mengejar predikat husnul khatimah dan selamat, lalu ruh kita kembali dan diterima di sisi yg maha kuasa. “Wahai nafsu muthmainnah, pulang lah ke pangkuan Tuhanmu yg saling menyayangi, masuklah dalam kelompok hambaku, dan masuklah dalam surgaku”. Selamat Jalan bang Hamka, ketika kemarin pagi saya mendapat kabar wafatnya, saya berpikir keras utk bisa hadir di kuburnya suatu saat nanti.
Tulisan ini semoga mewakili kerinduan kami dari Lombok NTB.
Mataram, 6 Sept 2020
(Penulis adalah warga NTB, Salah satu dari dua teman yang dianggapnya adik dari Lombok)