Oleh: Tuti Alawiyah
Mak … Mak … Mak … Mak …
Panggilku kepada emakku, yang entah kenapa dan bagaimana aku tak tahu. Seingatku saat sore hari, ketika emakku berada di sungai sedang mencuci pakaian. Aku yang masih duduk di bangku SMA melihatnya dari depan rumah kami yang jaraknya sekitar 10 meter berteriak memanggilnya.
Hanya suaraku saja yang terus-terusan memanggil yang tiada hentinya, bagai pungguk merindukan bulan hingga aku mengeluarkan air mata. Puluhan kali panggilanku tak kunjung dijawab olehnya.
Kenapa tak nyaut emak nih … ? Pikirku waktu itu.
Ape yang salah same aku nih … ? Tanyaku saat itu.
Sssssstttt … dengan nafas terengah-engah, tiba-tiba aku terbangun,
“Rupenye mimpi”. Aku bangun tengah malam.
“Tapi kenapa ndak dijawabnye sama emak,” pikirku lagi, sembari kembali berbaring.
“Oh iye. Emak udah tak ade,” jawabku dalam hati, lalu melanjutkan tidur malam itu.
Begitu pendek waktu bermimpi bertemu emak. Rasanya baru kemarin lepas dari buaian kasih ibu
dengan kehangatannya. Kini, telah tumbuh menjadi manusia dewasa segudang persoalan dan tanggung jawab. Perlahan tapi pasti. Jika telah tiba waktunya, kita akan berada pada ujung kehidupan ini. Lalu lenyap dan sirna dari muka bumi ini.
Tapi sesungguhnya mimpi itu mengandung filosofi yang mendalam. Tubuh memang sudah lapuk bercampur debu dan tanah. Namun tidak dengan kenangan. Kenangan akan kehadirannya menorehkan jejak. Jejak yang masih terukir dalam memori orang pernah hidup bersama.
Di mimpi ini kenangan indah bersamanya akan selalu meninggalkan jejak. Begitulah emakku meski telah lama meninggalkan dunia yang fana ini, tapi seolah masih hidup.
Sadar akan kenyataan ini, nenek moyang kita menitipkan petuah yang indah kepada anak-cucu mereka. Bagaimana semestinya bersikap atas kesementaraan dan kefanaan hidup ini,
Gajah mati meninggalkan gading
Harimau mati meninggalkan belang.
Manusia mati meninggalkan budi yang dikenang. (*)