Oleh: Juharis*
Merdeka, sebuah ungkapan yang sering terdengar di telinga kita. Apalagi bagi bangsa Indonesia. Berpuluh tahun lalu kata “merdeka” nyaring terdengar di bumi Indonesia. Pasalnya, Indonesia telah merayakan kemerdekaannya atas penjajahan kolonial. Kini kemerdekaan itu tengah dinikmati oleh generasi penerus. Siapa lagi kalau bukan kita yang masih segar menikmati kehidupan ini, apalagi bagi kalangan akademisi dan intelektual. Segar dalam hal pemikiran dan semangat memahami problem-problem pada bangsa ini.
Para tokoh ahli sebagai bagian dari kalangan intelektual itu sendiri, telah banyak mendefinisikan apa sebenarnya hakikat kemerdekaan itu. Singkatnya, secara umum yang penulis dapatkan dari beberapa literatur, merdeka secara umum mengandung arti bebas. Bebas dari hal yang terikat menuju keluasan dalam berbuat. Di samping itu, ada juga beberapa dari mereka kemudian membahas lebih mendalam sebenarnya apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka atau justru sebaliknya.
Menurut hemat penulis, ketika dilihat dari makna bebas sebagai arti dari merdeka, Indonesia memang sudah bebas, bebas dari penjajahan kolonial. Sekarang penjajahan sudah sirna, bahkan Indonesia sendiri saat ini justru bermitra dengan para penjajah. Artinya permusuhan telah dihilangkan dan persaudaraan sudah dieratkan.
Melempar jauh ingatan ke belakang memang sungguh luar biasa penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia di saat penjajahan. Dari kerja paksa, disiksa, dipermainkan, pendidikan susah didapat dan penderitaan lainnya. Mengenang masa lalu, sepatutnya kita sebagai penikmat kemerdekaan menjaga kemerdekaan ini agar tidak terulang kembali peristiwa memilukan tersebut.
Meskipun pada dasarnya hakikat kemerdekaan belum sepenuhnya kita dapatkan, dari segi penjajahan kita memang merdeka namun jika dilihat dari segi yang berbeda kita jauh dari jangkauan merdeka. Bukan berarti persoalan seperti ini lantas kita abaikan begitu saja. Akan tetapi, mensyukuri apa yang ada adalah lebih utama. Maka dari itu, untuk memelihara kemerdekaan, mempelajari sejarah perjuangan menjadi sauatu hal yang urgen. Tanpa sejarah kita tidak akan ada, sejarah bukanlah perkara yang harus dilupakan begitu saja. Setiap kejadian-kejadian di dalamnya merupakan gambaran pembelajaran kita selanjutnya. Belajar sejarah bukan berarti menghafal atau mengingat semua tanggal, tempat atau yang berhubungan dengan waktu, tapi yang menjadi inti daripada itu adalah mengambil pelajaran yang ada di dalamnya.
Ada sebuah ungkapan di dalam piagam Jakarta “…mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan…” negara ini adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang luar biasa banyak dan beragam, negara pluralitas. Ternyata kita baru sampai didepan pintu gerbang kemerdekaan belum memasuki gerbang kemerdekaan. Ini sekedar kontemplasi penulis di dalam memahami tabir kemerdekaan yang disingkap dengan sudut pandang subjektif. Karena itu, kebenarannya pun relatif.
Sebagai seorang yang kadangkala memperhatikan kondisi negara kita, memang rasanya begitu memprihatinkan. Pemimpin dan yang dipimpin tak selaras didalam mengonsepkan diri pada tujuan bangsa. Fenomena pemimpin korupsi misalnya, seakan sudah menjadi wabah penyakit pemerintahan kita bagai dipenuhi sandiwara layaknya sinetron Televisi. Pun rakyatnya tak henti-hentinya melontarkan caci maki kepada pemerintah melalui media massa bahkan terjun langsung seperti demonstrasi. Demonstrasi yang marak terjadi tak bisa dipungkiri kenyataan lapangan membuktikan justru menambah kekacauan dan perpecahan. Kemacetan jalan, kerusakan gedung, luka-luka hingga kematian tak lagi mengherankan dinegeri kita.
Sebagai rakyat, penulis mencoba merefleksikan diri bahwa kita seharusnya tidak kemudian mencaci pemerintah, membongkar semua aibnya sebagaimana demonstrasi yang ada. Mungkin semangat membara ketika ditengah-tengah demonstrasi sehingga ungkapan kotor pun tak sadar keluar dari lisan. Bukankah itu justru membuat buruk diri kita sendiri, citra agama dan norma sirna akibatnya.
Ada sebuah amalan yang ringan namun besar pengaruhnya, yaitu doa. Kapan terakhir kali kita mendoakan kebaikan pada pemerintah kita? Nampaknya lebih banyak mencela daripada mendoa. Jangan remehkan doa karena ia mempunyai kekuatan tersendiri yang langsung datang dari Tuhan. Cerminan yang memimpin adalah berasal dari yang dipimpin. Bukankah ketika rakyat masing-masing selangkah lebih maju dalam hal memperbaiki diri akan berpengaruh terhadap kehidupan pemerintahan kita.
Penulis menemukan sebuah ungkapan dari Fudhail bin Iyadh, beliau berkata “kalaulah aku punya doa yang mustajab (terkabulkan), niscaya aku gunakanbuat kebaikan, karena kita diperintahkan berbuat kebaikan terhadap mereka. Kita tidak diperintahkan berbuat kejelekan terhadap mereka sekalipun mereka dzalim dan bertindak sewenang-wenang, karena kedzaliman mereka berakibat fatal bagi diri mereka sendiri dan juga kaum mukminin. Demikian juga sebaliknya, kebaikan mereka bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan juga kaum mukmunin.”
Ada satu hal yang patut digaris bawahi, yakni walaupun pemimpin kita dzalim kepada rakyatnya tetap harus kita doakan, bukan justru mencela mereka dengan berbagai kalimat yang buruk. Hal ini akan memperburuk dan mengeruhkan suasana. Boleh kita mengkritik tapi jangan sampai menghina. Karena hinaan adalah penyebab daripada kerusakan-kerusakan. Mari membenahi diri sendiri, mendoakan pemerintah kita. Semoga bisa menjadi pemerintah yang memberikan manfaat kepada semua kalangan dan tidak mengecewakan apa yang semestinya diharapkan. *(Penulis: Mahasiswa Ekonomi Islam IAIN PONTIANAK)