Oleh: Nur Iskandar
Kelompok Usaha Bersama Bageri Indonesia bermarkas di Entikong. Tepatnya di sisi kiri gedung Puskesmas tapal batas. Karena Puskesmas merupakan bagian dari rehabilitasi fasilitas negara di kawasan border sebagai wajah depan Tanah Air, kondisinya sudah anggun dan megah. Berbeda dengan KUB Batas Negeri yang baru mendapatkan sentuhan berupa pembinaan UMKM, belum sampai kepada fasilitas etalase laksana supermarket. KUB Bageri menempati ruang tamu milik Ibu Ayu yang juga pamong di Kecamatan. Rumah tipe-36.
Tak hirau dengan etalase sederhana berupa rakiak besi, meja kerja dan besi gantungan pakaian khas kulit kapuak, sang motivator KUB, Ayu menyambut di muka rumah penuh antusias. Alumni Fakultas Pertanian Untan jurusan kehutanan angkatan 91 ini energistik. “Selamat datang Ibu Mira. Selamat datang Pak Agus…” Pemilik rumah mempersilahkan pegawai dinas BNPP duduk.
Ayu tampil berdiri di muka pintu. Sebelumnya ia sudah dihubungi Kepala Biro Perencanaan Badan Nasional Pembangunan Perbatasan, Mira bahwa dirinya akan mampir ke gerai KUB. Dengan cekatan pula Ayu masuk ke dapur dan menyiapkan satu teko kopi panas. Kala itu dia mengenakan seragam korpri. Batik warna biru.
“Ini Nuris kan?” Ayu bertanya seraya menuangkan kopi ke cangkir satu per satu. Saya mengiyakan, dan teringat pertemanan saat kuliah di kampus hijau Universitas Tanjungpura seperempat abad silam. Ayu punya nama panggilan akrab Nyit-Nyit. Mungkin karena dia aktif seperti burung pipit dan terampil cuat-cuit. Hehehe….Kami baru bersua setelah tamat studi S1 pada Rabu, 17/10/18.
“Saya sudah menjadi PNS di Kecamatan Entikong 19 tahun. Sebelumnya dinas di Kalbar wilayah utara,” kata Ayu. Sementara saya sejak mengeduk ilmu pertanian di kampus sudah aktif di bidang pers. Seusai kuliah pun berkhidmat di bidang jurnalistik.
Di gerai KUB Bageri inilah saya semakin menyadari kekayaan “intan hitam” perbatasan. Yakni lewat nikmatnya racikan kopi lada hitam maupun kopi jahe merah, dua produk yang sudah dipatenkan Ayu bersama sanggar binaannya. Sekaligus terbayang, jika para alumni seenerjik “Nyit-nyit” maka dalam membangun Borneo Barat tak terperi hasilnya. Termasuk pembangunan ekonomi wilayah perbatasan.
“Komoditas pertanian di pebatasan sesungguhnya luar biasa. Butuh inovasi dari kita untuk meningkatkan nilainya,” kata Ayu yang baru saja pulang dari Pendopo Gubernur di mana Wakil Gubernur, Ria Norsan pun kepincut dengan citarasa kopi lada hitam maupun kopi jahe merah buah tangan pengrajin di kawasan perbatasan Entikong.
***
lada adalah komoditas primadona di kawasan perbatasan. Harga tertinggi bisa mencapai Rp 110.000 per kilo. Tapi kini di tengah harga dolar dan rupiah bagaikan langit dan bumi (kurs 1 dolar = 15.000), harga lada pun terjun bebas. Per kilo hanya dihargai Rp 20.000/kg.
“Kalau 50.000 per kilo masih lumayan, kami bisa merawat kebun. Kalau 20.000 hanya bisa buat menanak nasi di dapur,” ungkap ibu-ibu di sekolah PAUD Kipet Abdurrahman, Desa Puntikayan, Kecamatan Entikong.
“Pohon lada banyak yang mati,” sambung ibu-ibu lainnya. Kondisi semakin terpuruk karena di border Jiran, petani Malaysia juga panen raya lada. Kualitas lada Malaysia lebih baik karena sistem pertanian dan kredit tani mereka lebih lunak. Mutu SDM Malaysia juga tinggi ketimbang Indonesia.
Ayu tidak hanya PNS biasa yang bekerja di Kantor Kecamatan. Dia membina ekonomi warga, termasuk pendidikannya. Di dalam dadanya bergejolak sang dwi warna: merah-putih.
“Karena berpikir bahwa nasionalisme kebangsaan kita tidak hanya dibangun secara fisik seperti gedung border yang megah, juga sumber daya manusianya, sehingga dengan mutu sumber daya yang bagus, mereka bisa mengolah sumber daya alam sehingga bernilai ekonomi tinggi,” lanjut Ayu.
Untuk itulah Ayu — mengutip Bahasa Melayu Pontianak “sehhe” membangun PAUD Kipet Abdurrahman. Jaraknya sekira 6 km dari pusat kecamatan. Belum ada listrik.
“Tujuan saya membangun PAUD agar sejak dini anak-anak ditanamkan semangat belajar. Itu saja,” timpal Ayu enuh vitalitas.
Sepanjang 6 km menelusuri lekuk perbukitan kondisi jalan sudah bagus tersentuh pembangunan. Aspal mulus, dan beberapa lokasi terdapat pengairan yang mengaliri sawah. Beberapa got perkampungan sudah rabat beton sehingga kehidupan dusun lebih rapi dan bersih. Infrastruktur dasar listrik saja yang belum menyentuh Puntikayan yang kaya akan tanaman lada.
“Kami jumpa Bapak Bupati Paulos Hadi. Dia tanya bagaimana jalannya? Kami jawab sudah aspal Pak. Oh itu saya tahu, katanya. Yang belum ada listrik Pak. Nah, ini saya belum tahu,” cerita warga.
Nilai dolar selangit berimbas kepada petani karet dan sawit. Harga per kg susut Rp 500/kg. Normalnya Rp 900 – 1.200/kg. Terbayang kesulitan hidup di kalangan petani perbatasan.
***
Pembinaan UMKM menjadi sangat penting dan strategis. Dilihat dari kemasan, kopi lada hitam dan kopi jahe merah sudah memenuhi standar higienitas.
“Produk inovatif ini sudah terdaftar di laboratorium kesehatan, dan sudah punya hak paten,” aku Ayu. Kesemuanya itu melalui proses yang sangat panjang. Di mana Ayu harus menyisihkan waktu sebagai pamong kecamatan, bekerja sebagai PNS maupun membina rumah-tangganya. Super sibuk dan tentu saja lelah.
Terbukti kini kedua produk tersebut menjadi souvenir wisata perbatasan yang sangat diburu wisatawan mancanegara maupun domestik. Melalui dua produk unggulan ini harga lada yang anjlok sedikit terselamatkan.
“Sayangnya kapasitas kami masih terbatas. Kalau kapasitas besar, tentu lebih banyak lada hitam maupun jahe merah petani yang bisa kita selamatkan perekonomiannya,” kata Ayu.
Harga 1/4 kg kopi bubuk dalam kemasan berkisar Rp 40.000-60.000. Angka tersebut menunjukkan peningkatan nilai yang lumayan dari komoditas pertanian setempat. “Apalagi kalau kopi dapat kita penuhi secara lokal, akan semakin bagus lagi, karena terus terang saja kopi kita didatangkan dari Kota Pontianak,” aku Ayu.
Dengan hamparan lahan perbatasan Kalbar hampir mencapai 1000 km, potensi ekonominya luar biasa. Dibutuhkan pejuang-pejuang perbatasan yang tanpa kenal lelah seperti sosok Ayu yang inovatif, tak terkecuali pembinaan UMKM seperti yang dilakukan BUMN termasuk Badan Nasional Pembangunan Perbatasan. Sebab, jangan sampai pembangunan fisik megah telah dirasakan, namun dampak ekonominya belum mensejahterakan. *