Oleh: Ambaryani
Sore itu saya berniat ke Puskesmas Pembantu (Pustu) Teluk Nangka. Karena Pustulah fasilitas kesehatan terdekat dengan rumah yang saya tinggali di sana. Di seberang rumah, dipisahkan sungai.
Kaki teman saya bengkak kemerahan. Akibat terjatuh dan kulit punggung kaki terkelupas Senin pagi di Jangkang I saat kami menuju Kubu dari Pontianak.
Sebenarnya sudah dibawa berobat. Hanya tidak ada perawatan setelah itu. Hasilnya, permukaan kulit yang terkelupas mulai basah. Rasanya ngenyut kata teman saya.
Sebelumnya menolak diajak berobat. Tak apa-apa katanya. Sekarang kondisinya di luar perkiraannya.
Begitu sampai di Pustu, sepi. Pintu terkunci.
“Mungkin petugasnya di dalam”. Saya ketuk pintu plus mengucapkan salam. Tak ada yang menyambut.
Saya lihat teman meringis-ringis menahan sakit di atas motor. Dia hampir menyerah dan memilih pulang.
Tapi, saya kekeh. Harus dapat obat, baru pulang. Kawan saya angkat tangan kalau harus ke pukesmas Kubu. Jalannya jelek.
Kami pergi ke warung di seberang masjid At-Taqwa Teluk Nangka. Saya lihat, warung di situ lumayan lengkap.
Tapi ternyata obat yang kami cari tak ada. Kepalang tanggung, saya tanya ibu-ibu yang sedang duduk di depan warung.
“Buk, nek ajeng berobat teng pundi ngeh selain Pustu?”
“O…niku Mbak, ngene pak mantri, griane teng pojokan lapangan niku lho,” jawab ibu-ibu itu sambil nunjuk rumah yang dimaksud.
“Matur suwun Buk,” saya kemudian menuju rumah pak mantri.
Awalnya saya ragu soal rumah yang saya tuju. Tapi, selang beberapa waktu, ada embah-embah datang bersama cucunya. Di lehernya dikalungkan selendang. Sambil sesekali menarik nafas tersendat. Tanda hidung sumbat.
“Pak mantrine enten Mbak?” Mbah itu tanya pada saya.
“Duko Mbah, kulo ngeh nembe dugi”.
Dari pertanyaan Mbah itu, saya jadi yakin itu rumah yang saya cari. Tak lama, datang laki-laki bersinglet, celana panjang plus topi dari arah pekarangan seberang jalan.
Pak mantri Indra Safri. Beliau sebenarnya sudah pensiun sejak tahun 2007. Setelah sebelumnya beliau bertugas di Karangan Kalbar tahun 1979, dan kemudian ditugaskan di Pustu Teluk Nangka 1987. Dan kini beliau melayani pengobatan mandiri di rumah.
“Awal tugas disuruh milih Papua, Sumatra, Kalbar, entah kenapa saya milih Kalbar,” beliau menceritakan awal mula ditugaskan.
“Saya dulu zaman sekolah, kalau disuruh gambar pulau, selalu pulau Kalimantan yang saya gambar. Tau-taunya, memang harus tugas di Kalimnatan,” kata pak mantri sambil ketawa.
Istri beliau Sriyatmi yang juga duduk di teras rumah bersama kami mengiyakan. Kata beliau, zaman sekolah dulu kalau ditanya kota mana yang pengen didatangi, beliau menjawab Pontianak. Dan jawaban beliau selalu jadi bahan tertawaan.
“Kok milih Pontianak, hutan,” komentar guru serta teman-teman beliau dulu.
Dan keduanya sepakat, bahwa apa yang mereka terima saat ini sudah Tuhan atur sejak lama. Sudah Tuhan beri kode. Hanya kita yang tidak menyadarinya. Saya setuju soal itu. Tidak ada yang kebetulan. Semua atas rencana Maha Kuasa. (*)