Oleh: Ambaryani
Buah jambu depan rumah di Teluk Nangka mulai berguguran. Seiring hujan dan angin kencang. Banyak yang masak, sampai tak termakan.
Sayang rasanya. Tapi, tak mampu juga hari-hari makan jambu.
Sore itu, saya dan kawan-kawan serumah betale rujak jambu. Jambu air dan jambu bol, hampir sebaskom kecil.
Alhasil, semuanya menyerah kalah. Tak mampu menghabiskan jambu yang sudah disirap-sirap. Kulkaslah yang jadi pelabuhan terakhir jambu itu.
Besoknya, saat berencana masak pagi, tiba-tiba saya terpikir masak jambu sisa rujak sore kemaren. Ting…muncul ide itu. Saya eksekusi.
Saya tumbukkan bawang merah putih, cabek. Kemudian saat menumis bumbu, saya tambah sedikit udang sesar. Udang sampah yang teman beli di pasar Kubu, Rp.5 ribu per ons.
Aroma tumisannya menggoda. Saat sudah masak, ternyata ok juga rasanya. Rasa masamnya hilang saat sudah ditumis bercampur bumbu. Teman-teman serumah heran.
“Kok jambu disayur?”
“Nah…sekarang kita coba, kalau tidak coba kita tak tahu bagaimana rasanya”, kata saya.
Mereka berpikir, jambu tak lazim dijadikan sayur. Tak biasa. Bukan jenis sayuran. Saya hanya senyum mendengarnya.
Apapun bisa, asalkan mau atau tidak, kita mencoba sesuatu. Kalau bahasa suami saya, jangan-jangan pucuk jambu air pun enak disayur. Hanya saja, belum pernah orang mencobanya.
Pucuk karet saja, ada orang yang pernah memasaknya. Gadung, umbi yang mengandung racun, enak jika bisa mengolahnya. Dijadikan kerupuk. Banyak hal yang bisa dicoba. (*)