Oleh: Yusriadi
Sore Selasa kemarin, saat berjalan melintasi tempat parkir menuju kelas, saya dicegat Didi Darmadi, teman saya. Didi memberitahu, buku tentang Ulu Pengkadan, dipesan Iman. Iman, kawan kami asal Sukaramai –nama lain Ulu Pengkadan, yang kini menjadi anggota DPRD Kapuas Hulu.
Setelah itu Didi berjalan ke arah motornya. “Bang, ada titipan Iman”.
Saya kira dia akan menunjukkan buku yang diceritakan. Rupanya, bukan.
Didi mengeluarkan sebuah benda. Bulat panjang. Kami menyebutnya lungkung.
“Apa, Di?”
“Lempuk”.
“Wow”.
O lala. Lempuk durian dengan bungkus daun.
Saya kenal daun itu. Daun rerit. Daun jenis lebar dan panjang memang biasa untuk bungkus makanan. Dahulu, Emak atau Nenek, kalau buat kue dari pulut, ubi, sering pakai daun ini, selain daun pisang. Melihat bungkusnya saya sangat, apalagi melihat isinya.
Daun rerit mirip daun kunyit. Hanya, lebih tebal dan tahan –tidak mudah sobek dibandingkan daun pisang yang sering dipakai untuk bungkus makanan.
Tentu lempuk dengan bungkus daun ini unik dan membuat kenangan lama muncul kembali. Kenangan masa kecil.
Didi pun rupanya punya kenangan.
“Ustadz palin mau’ dengan bungkus daun tu’. Kalau bungkus lain, kurang,” katanya. Maksudnya, Pak Ustadz Haji Ahmad paling suka dengan bungkus daun ini. Kalau dengan bungkus lain, kurang suka.
Ustadz itu guru kami di Jongkong, sekarang sudah wafat. Dan, melihat lempuk bungkus daun rerit itu membuat Didi jadi ingat almarhum.
Rupanya, ketika lempuk ini sampai di rumah, Emak pun takjub.
“O… ada lempuk bungkus daun rerit”.
“Lama dah tak liat,” tambah beliau.
Emak membuka bungkus ditunggui kami dengan tidak sabar. Setelah dipotong kecil, kemudian dihidangkan.
Kami mencicipi makanan khas itu dengan semangat. Maklum, makanan penuh kenangan.
Trims Didi, trims Iman.
Sambil menyantap potongan lempuk itu saya terpikir, alangkah baik jika para penjual kuliner mengetahui hal ini. Mungkin bisa jadi inspirasi untuk menjual sesuatu yang khas. (*)