in

Senandung Rhoma di Rumpun Padi

IMG 20180121 054524 338

Oleh: Yusriadi

Lari pagi…. jreng…jreng…

Sungguh sehat sekali…jreng…jreng..

Senandung lagu Lari Pagi, Rhoma Irama, terdengar dari rimbunan padi di belakang saya. Walaupun iramanya tidak pas dengan yang asli, tetapi dapat dinikmati di pagi Sabtu itu.

Setidaknya saya bisa tersenyum mendengar semangat sang penyanyi. Seorang wanita paroh baya –begitu yang saya kira. Saya mengira saja karena jarak antara posisi saya berdiri mencuci motor di depan gang rumah keluarga dengan posisi perempuan itu berada lebih kurang 30 meter. Mata berumur ini tidak awas lagi melihat dalam jarak jangkauan itu.

Lebih dari tersenyum, saya menikmati nyanyian itu: mengingatkan Jongkong 26 tahun lalu. Kala itu, di tahun 1980-an sedang booming film-film Rhoma di bioskop. Saya berkesempatan menonton dan menikmati tontonan kala itu.

Selain film di bioskop, lagu Rhoma Irama memang ada tempat di kalangan orang kampung. Entah di mana pun lagu Rhoma diputar orang. Bahkan sebenarnya hingga sekarang beberapa lagu Bang Haji itu masih punya tempat di hati. Melegenda.

Tapi, nyanyian di rimbunan padi itu juga mengingatkan saya hal lain. Saya jadi ingat fungsi ladang dalam masyarakat. Ladang bukan saja untuk mwndapatkan padi, tetapi juga untuk pengembangan budaya. Salah satu budaya yang berkembang melalui kegiatan berladang adalah sastra lisan.

Orang kampung berladang secara gotong royong, dan saat itulah mereka bertukar pantun. Macam-macam isi pantun ditukar takir.

Saat berladang mereka “besungka”. Teka-teki. Teka-teki kadang juga dipantunkan. Cukup mengasyikkan melihat orang berteka-teki. Mencerdaskan juga untuk anak-anak.

Pada kesempatan sama, orang tertentu membuka cerita. Saat istirahat siang, biasanya, ada saja orang tua yang bersedia berbagi cerita lama. Entah cerita pelanduk, pang alui, dll.. Selain untuk meramaikan suasana, menghibur, juga untuk menyampaikan pesan tertentu. Orang muda belajar tentang hidup melalui cerita yang mereka dengar.

Kadang pun ada yang mau “bbamai”, “mmomang”, dan sejenisnya. Mereka menyanyikan lagu-lagu lama, tentu dalam bahasa lokal. Kira-kira mirip situasinya dengan saat orang menyanyi lagu Lari Pagi di rimbunan padi tadi.
Kini, di pedalaman, tradisi ladang mulai ditinggalkan. Kerimbunan padi tidak ada untuk “pentas” sastra lisan. Pedalaman kehilangan salah satu media untuk pemeliharaan sastra lisan. Masyarakat kehilangan satu dua budaya warisan. (*)

Written by Yusriadi

Redaktur pada media online teraju.id dan dosen IAIN Pontianak. Direktur Rumah Literasi FUAD IAIN Pontianak. Lulusan Program Doktoral ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia, pada bidang etnolinguistik.

embun pagi

Kuncinya Ikhlas

IMG 20180121 123422 743

Menangislah dengan Bijak