Oleh: Farninda Aditya
Perjalanan menuju Ngabang disemangati dengan niat berburu buah hutan. Tempat yang akan dituju adalah pasar di belakang terminal Dara Itam. Ada pasar pagi di sana. Banyak pedagang yang berasal dari berbagai kampung di Ngabang. Mereka membuat lapak di tepian jalan, di depan ruko. Pasar pagi ini, sangat unik selain hanya sampai jam 9 pagi, daganganya berupa Sayur-mayur, Buah-buahan, Rimpang, Jamur, Beras dan lain-lain. Semua berasal dari hasil kebun di kampung atau dari hutan.
Nah, saat musim buah begini pasar akan semakin ramai. Sebab, mertua yang tinggal di Sungai Buluh beberapa waktu yang lalu mengirimkan kami buah-buah hutan ini. Ya, mereka menyebutnya buah hutan.
Kiriman yang kami terima adalah buah Pluntan, Pengan, Entawak, dan Petai Papan. Tiga nama buah yang disebutkan tadi tampaknya sejenis dengan buah sukun-sukunan. Bentuknya sekilas mirip, tetapi ada perbedaan dari kulitnya bahkan dari cara membukanya. Pengan dan pluntan isinya warna putih, tapi Pengan lebih manis. Aromanya juga khas. Mentawak warnanya jingga, seperti Cempedak versi kecil.
Bersamaan dengan kiriman mertua, kami diberi juga Kelentet Nyamok oleh Bibi. Nama buah yang baru saya dengar dua tahun terakhir. Buahnya berwarna merah, bentuknya sekilas memang mirip dengan badan nyamuk, seperti mulut perahu. Ranting buah mirip ranting rambutan, saat digigit seperti sensasi menggigit rambutan, disambut dengan isi buah yang berair. Saya pun agak merasa isinya seperti rambutan hanya isi buah sangat tipis, dan melekat pada kulit biji. Rasanya asam manis.
Saat rencana pulang kampung ini disampaikan, saya pun segera mengiyakan. Bayangan ke pasar pagi sudah mengawang. Maklum saja, di daerah pesisir buah-buah seperti ini belum pernah saya temui. Kekayaan buah hutan haru dicoba, harus dibagikan ceritanya, harus diambil juga kesan dari ceritanya. Saya senang karena tahun ini Aksara sudah bisa makan berbagai jenis makanan termasuk buan hutan. Bahagia saja rasanya bisa melihatnya menikmati buah-buah dari negeri sendiri.