Jumat lalu saya ke pameran buku Islamic Book Fair di JCC. Pameran buku ini yg terbesar di Indonesia. Awalnya di Istora. Kini bisa di tempat termahal: JCC. Selain nyaman, juga lebih luas.
Namun kali ini saya kaget. Harga2 buku makin mahal saja. Buku2 terjemahan kitab2 klasik yg berjilid2 itu harganya sdh melonjak. Biasanya selalu yg termurah. Ini krn sdh tak ada lg royalti buat penulisnya. Krn itu kertasnya pun selalu HVS dg jilidan kain dan hard cover. Akhirnya saya tanya, knp skrg harganya mahal? Seorang dirut penerbitan buku menjawab: “Kami tetap memiliki margin yg tipis.” Jd bukan krn makin komersial.
Lalu apa?
Pertama, pajak. Kedua, komponen impor dlm dunia buku yg msh dominan. Mesin cetak, kertas, tinta. Skrg kurs dolar terus tinggi. Krn itu sdh lama dunia buku menuntut keringanan pajak. Tp blm ada pemerintah yg melakukannya. Uniknya, dunia hiburan sdh dpt surga pajak, termasuk amussement. Negeri ajaib bukan?
Surga buku itu India. Harganya sangat murah. Jk ingin beli buku2 asing spt Penguin dll belilah di India. Jd jk ke India cuma beli kain sari mk peradaban kita msh blm beranjak jauh. Belanja buku lah jk ke India. China jg termasuk murah. Apalagi pemerintahnya menerjemahkan buku2 klasik dr Barat. Jk ke Tiongkok jangan lupa beli buku literatur klasik yg dlm Bhs Inggris. Terbitan pemerintah.
Kpn rakyat Indonesia bisa menikmati buku murah?
Hari ini justru saya kaget dg berita soal pameran buku asing Big Bad Wolf yg lg berlangsung di Serpong. Harga buku2 berbahasa Inggris sangat murah. Lalu ada pejabat akan menginvestigasi mengapa bisa semurah itu. Dia akan meneliti pajak dan prosedurnya. Oalah…pernyataan yg tak tepat. Mestinya bersyukur ada pengusaha yg bisa jual buku murah. Saya kebetulan kenal dengan importernya. Perempuan yg hebat. Dia jelaskan bhw dirinya telah melalui prosedur yg benar. Pajak pun dibayar.
Mari kita dukung buku murah. Hapus pajak untuk buku. Turunkan pajak royalti untuk buku.
Ingat, Pembukaan UUD 1945 secara jelas menulis tujuan dibentuknya NKRI ini adalah untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.
Salam,
Nasihin Masha